Sunday, February 11, 2007

Jauhi Pepecahan(Firaq)


Hadits Hudzaifah Radhiyallahu Ta'ala 'Anhu

Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilali


Nash Hadits:

"Ertinya : Dari Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu Ta'ala Anhu berkata : Manusia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada baginda SAW tentang keburukan kerana khuatir ia akan menimpaku. Maka aku bertanya ; Wahai Rasulullah, sebelumnya kita berada di zaman Jahiliyah dan keburukan, kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini. Apakah setelah ini ada keburukan ? Baginda SAW bersabda : ' Ada '. Aku bertanya : Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan ?. Baginda SAW bersabda : Ya, akan tetapi didalamnya ada dakhanun. Aku bertanya : Apakah dakhanun itu ?. Baginda SAW menjawab : Suatu kaum yang mensunnahkan selain sunnahku dan memberi petunjuk dengan selain petunjukku. Jika engkau menemui mereka maka ingkarilah. Aku bertanya : Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan ?. Baginda SAW bersabda : Ya, pendakwah-pendakwah yang mengajak ke pintu Jahannam. Barangsiapa yang mengijabahinya, maka akan dilemparkan ke dalamnya. Aku bertanya : Wahai Rasulullah, berikan ciri-ciri mereka kepadaku. Beliau bersabda : Mereka mempunyai kulit seperti kita dan berbahasa dengan bahasa kita. Aku bertanya : Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya ?. Baginda SAW bersabda : Berpegang teguhlah pada Jama'ah Muslimin dan imamnya. Aku bertanya : Bagaimana jika tidak ada jama'ah maupun imamnya ? Baginda SAW bersabda : Hindarilah semua firqah itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu". (Riwayat al-Bukhari di dalam bab كيف الأمر إذا لم تكن جماعة. Muslim:1847, Baghawi dalam Syarh Sunnah:4204. Ibnu Majah no. 3979, 3981, Abu Dawud no. 4244-4247)

Makna Hadits

  1. Mengenali Sabilul Mujrimin (jalan orang yang melakukan dosa) adalah kewajiban Syar'i.

Perlu diketahui bahwa Manhaj Rabbani yang abadi yang tertuang dalam uslub al-Quran yang diturunkan ke hati Penutup Para Nabi tidak hanya mengajarkan yang haq saja iaitu untuk mengikuti jejak orang-orang yang beriman (sabilul Mu'minin). Akan tetapi ia juga membuka kedok kebathilan dan menyingkap kekejiannya supaya jelas jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa (sabilul Mujrimin). Allah berfirman.

وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ

Dan Demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Quran satu persatu (supaya jelas jalan Yang benar), dan supaya jelas pula jalan orang-orang Yang berdosa.(al- An’am:55)

Yang demikian itu karena istibanah (penjelasan) jalan orang-orang yang suka berbuat dosa (sabilul Mujrimin) secara langsung memperjelaskan pula sabilul mu'minin. Oleh karena itu istibanah (penjelasan) sabilul Mujrimin merupakan salah satu sasaran daripada beberapa sasaran penjelasan ayat-ayat Rabbani. Ini kerana kekaburan tentang sabilul Mujrimin akan mengakibatkan secara langsung kepada keraguan dan kekaburan sabilul Muminin (jalanorang- orang yang beriman). Oleh kerana itu, menyingkap rahsia kekufuran dan kekejian adalah suatu keperluan yang sangat mendesak untuk menjelaskan keimanan, kebaikan dan kemaslahatan.

Ada sebahagian cendekiawan syair menyatakan:

"Ertinya : Aku kenali keburukan tidak untuk berbuat buruk, akan tetapi untuk menjaga diri".

"Barangsiapa yang tidak dapat membezakan antara kebaikan dan keburukan, maka akan terjerumus ke dalamnya".

Hakikat inilah yang dimengerti oleh generasi pertama umat ini -Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu 'anhu. Maka beliau berkata : "Manusia bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya tentang keburukan, kerana khuatir akan terjebak di dalamnya".

  1. Kekuatan Kita Dihancurkan dari Dalam

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda berkenan dengan keinginan kaum kafir untuk membinasakan kaum muslimin dan Islam, seperti yang dinyatakan dalam hadits Tsaubah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Ertinya : Hampir-hampir orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian seperti menyerbu makanan di dalam pinggan. Berkata seorang sahabat RA : Adakah kerana kita sedikit pada waktu itu ? Baginda SAW bersabda : Bahkan kalian pada waktu itu ramai sekali, akan tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kamu serta menjangkitkan di dalam hati kamu penyakit wahn. Seorang sahabat RA bertanya : Wahai Rasulullah, apakah wahn itu ? Baginda SAW bersabda : Mencintai dunia dan takut mati". (Riwayat Abu Dawud no. 4297, berkata al-Albani: Hadis Sahih)

Daripada hadith di atas dapat disimpulkan bahwa :

  1. Kaum kafir saling berlumba-lumba untuk menjajah Islam, negara-negaranya serta penduduknya.
  2. Negara-negara muslimin adalah negara-negara sumber kebaikan dan barakah yang mengundang air liur kaum kafir untuk menjajahnya.
  3. Kaum kafir mengambil kekayaan sumber alam negara muslimin tanpa rintangan dan halangan sedikitpun.
  4. Kaum kafir tidak lagi gentar terhadap kaum Muslimin kerana rasa takut mereka kepada kaum Muslimin sudah dicabut Allah dari dalam hati mereka. Padahal pada mulanya Allah menjanjikan kepada kaum Muslimin dalam firman-Nya :"Kami akan isikan hati orang-orang kafir itu Dengan perasaan gerun, disebabkan mereka mempersekutukan Allah Dengan benda-benda (yang mereka sembah…". ( Ali-Imran : 151). Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda : "Ertinya : Aku diberi lima perkara yang belum pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku : Aku ditolong dengan rasa ketakutan dengan jarak satu bulan perjalanan ; dan dijadikan bumi untukmu sebagai tempat sujud ; .... dan seterusnya ". (Riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari I/436. Muslim dalam Nawawi V/3-4 dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu 'anhu)

Akan tetapi pengkhususan tersebut dibatasi oleh sabda baginda Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Tsauban yang lalu, yang menyatakan : "Allah akan mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kamu ...".

Daripada hadits ini fahamlah kita bahawa kekuatan umat Islam bukanlah terletak pada jumlah dan bekalannya, atau pada artileri dan logistiknya. Akan tetapi kekuatannya terletak pada aqidahnya. Seperti yang kita saksikan ketika baginda Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab pertanyaan yang berkenan dengan jumlah, maka beliau jawab : "Bahkan ketika itu kalian banyak sekali, akan tetapi kalian seperti buih di atas aliran air".

Kemudian apa yang menjadikan "pohon yang akarnya mencengkam ke bumi dan cabangnya menjulang ke langit" itu seperti buih yang terumbang-ambing di atas air?

Sesungguhnya racun yang meluruhkan kekuatan kaum muslimin dan melemahkan gerakannya serta mencabut barakahnya bukanlah senjata dan pedang kaum kafir yang bersatu untuk membuat kerosakan terhadap Islam, para penganutnya dan negara-negaranya. Akan tetapi ia adalah racun yang sangat keji yang mengalir di dalam jasad kaum muslimin yang disebut oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai "Dakhanun" Ibnu Hajar dalam Fathul Bari XIII/36 mendefinisikan dengan hiqd (dengki), atau daghal (penghianatan) , atau fasadul qalb (kerosakan hati). Semua itu mengisyaratkan bahawa kebaikan yang datang setelah keburukan tersebut tidak murni, akan tetapi keruh. Dan Imam Nawawi dalam syarh Shahih Muslim XII/236-237, mengutip perkataan Abu 'Ubaid yang menyatakan bahawa erti dakhanun adalah seperti yang disebut dalam hadits lain.

"Ertinya : Tidak kembalinya hati pada fungsi asanya". (Riwayat Abu Dawud no. 4247)

Seakan-akan mengisyaratkan bahawa hati mereka tidak hening dan tidak mampu membersihkan antara yang satu dengan yang lain. Kemudian berkata Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah XV/15: Bahawa sabda beliau : "Dan didalamnya ada Dakhanun, yakni tidak ada kebaikan murni, akan tetapi didalamnya ada kekeruhan dan kegelapan". Adapun Al 'Adzimul Abadi dalam 'Aunil Ma'bud XI/316 menukil perkataan Al-Qari yang berkata : "Asal kata dakhanun adalah kadurah (keruh) dan warna yang mendekati hitam. Maka hal ini mengisyaratkan bahawa kebaikan tersebut dicemari oleh kerosakan (fasad)".

Sesungguhnya penanam racun yang keji dan menjalar di kalangan umat ini tidak lain adalah dari dalam diri mereka sendiri. Seperti yang dinyatakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Mereka adalah dari kalangan bangsa kita dan berbahasa dengan bahasa kita". Berkata Ibnu Hajar Rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36 : "Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab". Sedangkan Al-Qabisi menyatakan -seperti dinukil oleh Ibnu Hajar- secara lahir maknanya adalah bahwa mereka adalah pemeluk dien (agama) kita, akan tetapi batinnya menyelisihi. Dan kulit sesuatu adalah lahirnya, yang pada hakikatnya bererti penutup badan". Mereka mempunyai sifat seperti yang dikatakan dalam hadits riwayat Muslim.

"Ertinya : Akan ada di kalangan mereka orang yang berhati iblis dengan jasad manusia". (Riwayat Muslim)

Yakni mereka memberikan harapan-harapan kepada manusia berupa mashalih (pembangunan) , siyadah (kepemimpinan) dan istiqlal (kemerdekaan dan kebebasan) .. dan umat merasa suka dengan propaganda mereka. Untuk itu mereka mengadakan pertemuan-pertemuan , muktamar-muktamar dan diskusi-diskusi. Oleh sebab itu mereka diberi predikat sebagai pendakwah (da'i atau du'at -dengan dlamah pada huruf dal- merupakan bentuk jama' dari da'a yang bererti sekumpulan orang yang melazimi suatu perkara dan mengajak manusia untuk menerimanya.) (Lihat 'Aunil Ma'bud XI/317).

3. Jama'ah minal Muslimin dan bukan Jama'ah Muslimin/

Kalau kita mengamati relaiti, maka kita akan melihat bahwa fahaman hizbiyah (kelompok) telah mengalir di dalam otak sebahagian besar kelompok yang menekuni medan da'wah ilallah, dimana seolah-olah tidak ada kelompok lain kecuali kelompoknya, dan menafikan kelompok lain di sekitarnya. Persoalan ini terus berkembang, sehingga ada sebagian yang menda'wahkan bahwa merekalah Jama'ah Muslimin/Jama'ah 'Umm (Jama'ah Induk) dan pendirinya adalah imam bagi seluruh kaum muslimin, serta mewajibkan berba'iat kepadanya. Selain itu mereka mengkafirkan sawadul a'dzam (sebagian besar) muslimin, dan mewajibkan kelompok lain untuk bergabung dengan mereka serta berlindung di bawah naungan bendera mereka.

Kebanyakan mereka lupa, bahwa mereka bekerja untuk mengembalikan kejayaan Jama'atul Muslimin. Kalaulah Jama'atul Muslimin dan imam-nya itu masih ada, maka tidaklah akan terjadi ikhtilaf dan perpecahan ini dimana Allah tidak menurunkan sedikit pun keterangan tentangnya.

Sebenarnya para pengamal untuk Islam itu adalah Jama'ah minal muslimin (kumpulan sebagian dari muslimin) dan bukan Jama'atul Muslimin atau Jama'atul 'Umm (Jama'ah Induk), kerana kaum muslimin sekarang ini tidak mempunyai Jama'ah ataupun Imam.

Ketahuilah, wahai kaum muslimin, bahawa yang disebut Jama'ah Muslimin adalah yang tergabung didalamnya seluruh kaum muslimin yang mempunyai imam yang melaksanakan hukum-hukum Allah. Adapun jama'ah yang bekerja untuk mengembalikan daulah khilafah, mereka adalah jama'ah minal muslimin yang wajib saling tolong menolong dalam urusannya dan menghilangkan perselisihan yang ada di antara individu supaya ada kesepakatan di bawah kalimat yang lurus di bawah naungan kalimat tauhid.

Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari Rahimahullah yang menyatakan : "Berkata kaum (yakni para ulama), bahawa Jama'ah adalah Sawadul A'dzam. Kemudian diceritakan daripada Ibnu Sirin daripada Abi Mas'ud, bahwa beliau mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya ketika 'Utsman dibunuh, untuk berpegang teguh pada Jama'ah, karena Allah tidak akan mengumpulkan umat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam kesesatan. Dan dalam hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak mempunyai imam, dan manusia berpecah belah menjadi kelompok-kelompok maka janganlah mengikuti salah satu firqah. Hindarilah semua firqah itu jika kalian mampu untuk menghindari terjatuh ke dalam keburukan".

4. Mejauhi Semua Firqah

Dinyatakan dalam hadits Hudzaifah tersebut supaya menjauhi semua firqah jika kaum muslimin tidak mempunyai jama'ah dan tidak pula imam pada hari terjadi keburukan dan fitnah. Semua firqah tersebut pada dasarnya akan menjerumuskan ke dalam kesesatan, karena mereka berkumpul di atas perkataan/teori mungkar (mungkari minal qaul) atau perbuatan mungkar, atau hawa nafsu. Baik yang mendakwahkan mashalih (pembangunan) atau mathami' (ketamakan). Atau yang berkumpul di atas asas pemikiran kafir, seperti; sosialisme, komunisme, kapitalisme, dan demokrasisme. Atau yang berkumpul di atas asas kedaerahan, kesukuan, keturunan, kemadzhaban, atau yang lainnya. Sebab mereka semua itu akan menjerumuskan ke dalam neraka Jahannam kerana membawa misi selain Islam atau Islam yang sudah diubah ...!

5. Jalan Penyelesaiannya

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada Hudzaifah untuk menjauhi semua firqah yang menyeru dan menjerumuskan ke neraka Jahannam, dan supaya memegang erat-erat pohon pokok(ashlu syajarah) sehingga ajal menjemputnya sedangkan dia tetap dalam keadaan seperti itu.

Daripada pernyataan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut.

Pertama.
Bahawa pernyataan itu mengandung perintah untuk melazimi Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman Salafuna Shalih. Hal ini seperti yang diisyaratkan dalam hadits riwayat 'Irbadh Ibnu Sariyah.

"Ertinya : Barangsiapa yang masih hidup diantara kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Dan berwaspadalah terhadap perkara-perkara yang diada-adakan karena hal itu sesat. Dan barangsiapa yang menemui yang demikian itu, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa'ur rasyidin. Gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian". (Riwayat Abu Dawud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 440 dan yang lainnya)

Jika kita menggabungkan kedua hadits tersebut, yakni hadits Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu 'anhu yang berisi perintah untuk memegang pokok-pokok pohon (ashlu syajarah) dengan hadits 'Irbadh ini, maka terlihat makna yang sangat dalam. Yaitu perintah untuk ber-iltizam pada As-Sunnah An-Nabawiyah dengan pemahaman Salafuna As-Shalih Ridlwanalahu Ta'ala 'alaihim manakala muncul firqah-firqah sesat dan hilangnya Jama'ah Muslimin serta Imamnya.

Kedua.
Di sini ditunjukkan pula bahwa lafadz (an ta'adhdha bi ashli syajarah) dalam hadits Hudzaifah tersebut tidak dapat diertikan secara dzahir hadits. Tetapi maknanya adalah perintah untuk berpegang teguh, dan bersabar dalam memegang Al-Haq serta menjauhi firqah-firqah sesat yang menyaingi Al-Haq. Atau bermakna bahwa pohon Islam yang rimbun tersebut akan ditiup badai sehingga mematahkan cabang-cabangnya dan tidak tinggal kecuali pokok pohonnya saja yang kukuh. Oleh kerana itu maka wajib setiap muslim untuk berada di bawah naungan pohon pokok ini walaupun harus ditebus dengan jiwa dan harta. Kerana badai taufan itu akan datang lagi dengan lebih dahsyat.

Ketiga.
Oleh kerana itu menjadi kewajipan bagi setiap muslim untuk menghulurkan tangannya kepada kelompok (firqah) yang berpegang teguh dengan pohon pokok itu untuk menghadapi kembalinya fitnah dan bahaya bala. Kelompok ini seperti disabdakan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam akan selalu ada dan akan selalu muncul untuk menyokong kebenaran hingga yang terakhir dibunuh dajjal.

Maraji' :

  1. Al Ilzamat wa at Tatabu oleh Ad-Daruquthni
  2. Tafsir Al-Qur'an Al-Adzim, oleh Ibnu Katsir
  3. Al Jami' As Shahih, oleh Bukhari dengan Fathul Bari
  4. Haliyatul Auliya' oleh Abu Na'im Al- Ashbahani.
  5. Silsilah Al-Hadits As-Shahihah, oleh Muhammad Nashiruddien Al-Albani
  6. As-Sunnan, oleh Ibnu Majah
  7. As-Sunnan, oleh Abu Dawud
  8. As-Sunnan, oleh Tirmidzi
  9. Syiar A'lam An-Nubala, oleh Adz-Dzahabi
  10. Syarhu Sunnah, oleh Baghawi
  11. As-Shahih, oleh Muslim bin Al-Hujjaj
  12. 'Aunil Ma'bud, oleh Syamsul Al-Abadi
  13. Al-Kaasyif, oleh Dzahabi
  14. Al-Mustadrak, oleh Hakim
  15. Al-Musnad, oleh Ahmad bin Hambal

Tulisan ini disadur dan diringkas dari kutaib yang berjudul "Qaulul Mubin fi Jama'atil Muslimin" karangan Salim bin 'Ied Al-Hilali, Penerbit Maktab Islamy Riyadh tanpa tahun, dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 07/1/14 14-1993 hal. 8-13

Saturday, February 10, 2007

Kerajaan negeri Perlis mempermudahkan lagi prosedur perkahwinan



KANGAR 8 Feb. – Kerajaan negeri Perlis mempermudahkan lagi prosedur perkahwinan sebagai langkah membanteras gejala sosial dan amalan seks bebas di kalangan masyarakat terutama golongan remaja.

Anggota Exco kerajaan negeri, Azihani Ali berkata, antara prosedur yang dipermudahkan ialah mereka yang ingin berkahwin di negeri ini tidak perlu lagi menukar alamat mereka ke alamat tetap di mana-mana tempat di negeri Perlis.

Katanya, proses menukar alamat ini memakan masa seminggu dan mengikut undang-undang sebelum ini, mana-mana pasangan yang tidak menukar alamat akan dikenakan denda RM2,000.

Kerajaan negeri turut menyediakan insentif antara RM1,000 hingga RM3,000 kepada bakal pengantin yang kurang berkemampuan untuk mendirikan rumah tangga, katanya kepada pemberita selepas mesyuarat Exco kerajaan negeri di sini semalam.

“Bagi pasangan yang pertama kali berkahwin, insentif ini membantu mereka untuk membina penghidupan baru. Bagi perkahwinan kedua atau ketiga, kita akan rujuk pada kes tertentu seperti kematian atau berlaku perceraian dan mereka ingin berkahwin tetapi tidak berkemampuan dari segi kewangan,” katanya.

Azihani berkata, kerajaan negeri akan menambah bilangan jurunikah kepada 50 orang yang terdiri daripada imam yang bertauliah.

Mengenai poligami, beliau berkata, perkara itu tidak dapat dielak kerana ia tercatat jelas dalam al-Quran yang membolehkan lelaki berkahwin lebih daripada satu tetapi berdasarkan kepada kemampuan.

– Bernama

Cerai
KUALA LUMPUR 8 Feb. – Adalah tidak bertanggungjawab bagi media untuk melaporkan dan menerbitkan berita mengenai perceraian kerana ia bukan untuk tatapan umum, kata Ketua Pengarah Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM), Dr. Syed Ali Tawfik Al-Attas hari ini.

Beliau berkata, pengamal media tidak patut membenarkan pasaran untuk menentukan etika dan moral tetapi mereka perlu mendefinisikan etika dan moral untuk pasaran.

“(Dalam melaporkan kes perceraian) semuanya didedahkan. Semua butiran intim didedahkan untuk tatapan umum hanya kerana mereka mahu menjual surat khabar mereka,” katanya semasa menyampaikan ceramah bertajuk Kebebasan Media dan Kebebasan Bersuara Dalam Islam anjuran Bernama di sini hari ini.

Beliau berkata, berita mengenai perceraian hanya untuk anggota keluarga dan bukannya untuk tatapan umum.

“Pada pendapat saya, kita tidak boleh bercakap mengenai penceraian secara terbuka. Ia memalukan. Suami kata lain dan isteri kata lain.

Tergamak anda (media) laporkan dalam akhbar sewenang-wenangnya?” katanya.

Mengenai kebebasan akhbar dan kebebasan bersuara menurut pandangan Islam, Syed Ali Tawfik berkata, tanggungjawab adalah lebih penting daripada kebebasan.

Oleh itu, pengamal media perlu sentiasa menitikberatkan tanggungjawab kepada awam terlebih dahulu sebelum mereka memutuskan untuk menerbitkan sebuah berita itu, katanya.

“Bagi industri media, tanggungjawab amat penting. Anda patut ramalkan akibat daripada berita itu. Adakah ia baik untuk masyarakat?

“Adalah tidak memudaratkan untuk merahsiakan maklumat tertentu bergantung kepada keadaan,” katanya.

– Bernama

----------------

http://www.utusan.com.my/utusan/content.asp?y=2007&dt=0209&pub=Utusan_Malaysia&sec=Dalam_Negeri&pg=dn_01.htm

Konsep Tajassus Dalam Islam

Tafsiran Tajassus (Mengintip Mencari Kesalahan Orang Lain).

Firman ALLAH dalam Surah al-Hujurat ayat 12: (maksudnya) “Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah kebanyakan dari sangkaan (supaya kamu tidak menyangka sangkaan yang dilarang) kerana sesungguhnya sebahagian dari sangkaan itu adalah dosa; dan janganlah kamu mengintip mencari-cari kesalahan orang..”

Antara ulama tafsir yang memberikan tafsiran yang teliti tentang maksud al-Tajassus dalam ayat ini ialah al-Imam al-Qurtubi (meninggal 671H) dalam tafsirnya telah mengemukakann riwayat-riwayat yang memadai tentang larangan mengintai atau mengintip maksiat orang lain dengan tujuan untuk diambil tindakan. (Lihat: al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, 16/333-334, Beirut : Dar al-Fikr t.t.)

Bahkan Syaikh al-Mufassirin, Al-Imam al-Tabari (meninggal 310H) sebelum itu telah menghuraikan dengan jelas maksud ayat ini. Antaranya: wala tajassasu bermaksud jangan kamu mencari keaiban satu sama lain, jangan kamu mencari rahsia-rahsianya dengan tujuan untuk mengetahui kecacatannya. Namun berpadalah dengan apa yang nyata dari dirinya. Nilailah dia atas asas tersebut sama ada baik atau buruk. Jangan kamu mencari kesalahannya. Kata Ibn ‘Abbas: “ALLAH melarang orang mukmin daripada mencari keburukan-keburukan mukmin yang lain. Kata Mujahid: “Ambillah apa yang nyata, dan tinggalkan apa yang ALLAH tutup”. Kata Qatadah: Tahukah kamu apa itu tajassus? Iaitu kamu mencari-cari keaiban saudaramu untuk mengetahui rahsianya. Kata Ibn Zaid: “Tajassus itu kamu berkata: sehingga aku dapat lihat kesalahan itu, aku bertanya mengenainya untuk mengetahui adakah benar atau tidak”.( al-Tabari, Tafsir al-Tabari, tahzib: Dr Salah al-Khalidi, 7/40-41 Damsyik: Dar al-Qalam (1997)

Dr Wahbah al-Zuhaili menyebut: “Tajassus termasuk dalam dosa-dosa besar, iaitu mencari keaiban yang tersembunyi dan rahsia”.( Al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir, 255, 263/26, Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asir 1991)

Sebagai penulis tafsir moden, Sayyid Qutb menyentuh ayat ini dengan begitu mendekati kehidupan muslimin di zaman kini. Antaranya beliau menyebut: “Namun perkara ini kesannya lebih jauh dari itu. Ia adalah prinsip Islam yang utama dalam sistem kemasyarakatannya, juga dalam urusan perundangan dan perlaksanaannya. Sesungguhnya bagi manusia itu kebebasan, kehormatan, kemuliaan yang tidak boleh dicerobohi dalam apa bentuk sekalipun. Tidak boleh disentuh dalam apa keadaan sekalipun. Dalam masyarakat Islami yang tinggi dan mulia, manusia hidup dalam keadaan aman pada diri mereka, aman pada rumah mereka, aman pada rahsia mereka dan aman pada keaiban mereka. Tiada sebarang justifikasi –atas apa alasan sekali pun- untuk mencerobohi kehormatan diri, rumah, rahsia dan keaiban. Sekalipun atas pendekatan mencari jenayah atau memastikannya, tetap tidak diterima dalam Islam pendekatan mengintip orang ramai. Hukum manusia berasaskan apa yang zahir. Tiada hak sesiapa untuk mencari-cari rahsia orang lain. Seseorang tidak akan diambil tindakan melainkan atas kesalahan dan jenayah yang nyata dari mereka….demikianlah nas ini (larangan tajassus) menempatkan dirinya dalam sistem perlaksanaan dalam masyarakat islami. Ia bukan sekadar mendidik jiwa dan membersihkan hati, bahkan ia telah menjadi dinding yang memagari kehormatan, hak dan kebebasan manusia. Tidak boleh disentuh dari dekat atau jauh, atau atas sebarang pendekatan atau nama”.(rujukan: Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Quran, 6/3346, Kaherah: Dar al-Syuruq 1992)

Dalam hadith lain daripada Mu’awiyah: Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: Sesungguhnya engkau, jika mencari-cari keaiban orang ramai, nescaya engkau merosakkan mereka atau hampir merosakkan mereka. Kata Abu Darda: Itu adalah perkataan yang Muawiyah dengar daripada Rasulullah, ALLAH memberikan manfaat kepadanya dengan perkataan tersebut. (Riwayat Abu Daud. Sanadnya sahih)

Jika Dururat Mendesak Tajassus

Timbul persoalan pada sesetengah pihak, terutamanya pasukan keselamatan; jika intipan dilarang sama sekali, ia boleh menimbulkan ancaman yang membahayakan negara atau keselamatan awam. Ini seperti rancangan pengedaran, senjata api dan seumpamanya.

Di sini perlu dijelaskan, tajassus adalah diharamkan untuk kemaslahatan dan mengelakkan kerosakan. Namun jika terbukti di sana ada keburukan atau kemerbahayaan yang lebih besar yang mengancam keselamatan awam, maka ia diizinkan seperti mana diizinkan mengumpat untuk suatu tuntutan yang mendesak. Ini seperti firman ALLAH dalam Surah al-Nisa 148: (maksudnya) Allah tidak suka kepada perkataan-perkataan buruk yang dikatakan dengan berterus-terang (untuk mendedahkan kejahatan orang); kecuali oleh orang yang dianiayakan.

Dalam keadaan terdesak, maka apa yang dijelaskan oleh al-Imam al-Syaukani (meninggal 1250H) amat bertepatan. Kata beliau: “Aku katakan; jika hanya semata-mata sangkaan maka tidak mencukupi dalam hal ini. Bahkan mestilah dengan pengetahuan kerana ia termasuk dalam tajassus yang dilarang berdasarkan dalil al-Quran. Namun dibolehkan untuk suatu kemaslahatan yang mana membantah kemunkaran itu lebih kukuh dibandingkan meninggalkan tajassus dan kerosakan meninggalkan bantahan terhadap kemungkaran lebih dahsyat dari kerosakan tajassus. Atau mungkin boleh digabungkan bahawa pengharaman tajassus berkaitan dengan tanpa pengetahuan (sangkaan) kerana tidak dinamakan tajassus jika perlaksananya benar-benar mengetahui”.( Al-Syaukani, Al-Sail al-Jarar, 4/591 Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah 1405H)

Secara mudah saya bahagikan hal ini kepada dua bahagian:

Pertama: Maksiat atau kemungkaran peribadi yang membabitkan diri seorang insan dengan Tuhannya sahaja tanpa mengancam keselamatan awam. Maka maksiat seperti ini tidak boleh dilakukan tajassus. Ini berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan tadi.

Kedua: Maksiat atau kemungkaran yang mengancam keselamatan awam. Maksiat jenis boleh diintip disebabkan kemerbahayaan membiarkannya tanpa kawalan adalah lebih dahsyat dari keburukan tajassus.

Adapun pembahagian yang dibuat oleh al-Imam al-Mawardi dalam Al-Ahkam al-Sultaniyyah yang dikutip tanpa ulasan yang mendalam oleh beberapa penulisan segelintir ulama dahulu dan sekarang adalah pembahagian yang menarik dan mempunyai unsur persamaan dengan yang saya sebutkan. Namun sebutan zina sebagai contoh dalam pembahagian pertama yang membolehkan tajassus tidak mempunyai alasan atau sandaran yang kukuh. Bahkan bercanggah dengan kes-kes aduan zina pada zaman Nabi s.a.w yang mana baginda berusaha menolak aduan dan mengelakkan kes diproses.

Monday, February 05, 2007

Perkara Kekal dan Berubah-ubah (bahagian 3)

Perbandingan di antara yang pasti dan yang tidak pasti


Dalam kepercayaan

Apa yang dimaksudkan dengan "kepercayaan" dalam tajuk ini ialah: setiap perkara yang wajib diimani, tanpa mengira adakah orang yang mengengkarinya dianggap kafir ataupun tidak.

Orang-orang yang mengengkari perkara-perkara ini tidak dihukum kafir jika terdapat unsur: perbezaan menilai standard penghujahan dalil, atau kerana salah takwilan[1]. Namun mereka tetap dikira bersalah dan menyalahi manhaj al-salaf al-soleh serta wajib bagi pihak berkuasa menegakkan hujah di atas kesesatan mereka ini. Jika keengkaran itu selepas mengakui kebenaran dalil itu benar-benar dari Allah atau rasul, ia merupakan penentangan terhadap agama. Orang yang begini dihukum kafir, keluar dari agama. Namun tidak dinafikan bahawa terdapat juga perbezaan yang lebih berbentuk teknikal dan tidak menyentuh dasar aqidah. Oleh itu, khilaf seperti ini tidak menyebabkan hukum kafir atau fasiq. Ia Cuma dinilai di sudut rajih atau marjuh sahaja. Berikut adalah perbandingannya:

Perkara yang pasti

Perkara yang tidak pasti

Iman manusia boleh jadi meningkat dan boleh jadi berkurang[2].

Takrif iman: adakah merangkumi amal soleh, atau ia hanya pelengkap kepadanya sahaja[3].

Kewujudan dan keesaan Allah dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Juga hak Allah untuk ditauhidkan oleh manusia di dalam amalan.

Beberapa takwilan tentang ayat-ayat dan hadith-hadith yang mutasyabihat berhubung sifat-sifat Allah dan perbuatannya, misalnya: istiwa', tangan dan mata Allah dan lain-lain[4].

Kejadian malaikat daripada cahaya dan mereka adalah hamba-hamba Allah yang taat. Jibril bertugas menyampaikan wahyu kepada nabi Muhammad S.A.W.[5]

Adakah para malaikat yang turun semasa perang Badar, turut berperang dan membunuh bersama tentera Islam atau hanya bertugas membisikkan semangat kepada tentera Islam dan menimbulkan rasa takut pada diri tentera kuffar[6].

Allah telah mengutus para rasul bagi setiap umat, ada yang diterangkan nama dan kisahnya dan ada pula yang tidak diceritakan.

Bilangan rasul yang disebut namanya di dalam al-Quran 25 orang, tetapi susunan lengkap tidak diketahui melainkan sekadar beberapa nama yang termaktub dalam al-Quran sahaja.

Setiap orang yang mati akan disoal oleh malaikat di alam kubur, diberi nikmat kepada yang soleh dan diazab orang jahat[7].

Adakah manusia di alam barzakh terdiri daripada roh sahaja atau bersama jasad.[8]

Di akhir zaman, Allah akan menurunkan Isa a.s[9].

Berapa lamakah Isa akan berada di muka bumi[10].

Dalam amalan

Hukum hakam yang bersifat tetap dan berterusan tanpa dipengaruhi oleh sebarang bentuk perubahan atau perkembangan dipanggil thawabit. Hukum hakam yang mungkin menerima pengubahsuaian mengikut perubahan situasi dan keperluan serta kebiasaan setempat dipanggil al-mutaghayyirat wa mawarid al-ijtihad.

Contohnya:

a) Hukum-hakam ibadat yang merangkumi rukun-rukun Islam.

Perkara yang tetap / pasti

Perkara yang mungkin berubah / tidak pasti

Solat fardu 5 waktu wajib ditunaikan dalam apa jua keadaan melainkan jika gugur syarat wajib

Solat dilakukan dalam waktunya masing-masing, tetapi adakalanya ia boleh dihimpunkan (jama'). Adakalanya ia dilakukan berdiri, duduk[11] atau sebagainya.

Membaca al-Fatihah adalah wajib bagi yang mampu

Membaca basmalah wajib bagi jumhur, tidak bagi Maliki. Begitu juga Syafie menjelaskan bacaan basmalah sedang yang lain membacanya dengan suara perlahan

Doa qunut adalah disyariatkan dalam solat[12]

Perbezaan pendapat adalah pada: menentukan solat apakah yang disunatkan membaca doa qunut, sebelum atau selepas rukuk, doa apakah yang afdal?

Ada 3 jenis haji yang disyariatkan

Jenis manakah yang paling afdal: Ifrad atau Tamattu' atau Qiran?

Tawaf Ifadhah adalah rukun haji

Wanita yang haid boleh melakukan tawaf jika didapati selamat daripada mengotori masjid (jika terpaksa)[13].

Jemaah haji boleh mendahulu atau mengkemudiankan perkara-perkara berikut: melontar jamrah 'aqabah, bercukur atau tawaf ifadah.

Al-Albani menyatakan bagi mereka yang sudah menanggalkan ihram, tetapi tidak melakukan tawaf sebelum terbenam matahari perlu memakai ihramnya semula. Jumhur menyatakan tidak perlu[14]

b. Undang-undang kekeluargaan dan urusan muamalat

Perkara yang tetap / pasti

Perkara yang mungkin berubah / tidak pasti

Talaq dibenarkan oleh syara'. Ia pernah terjadi ke atas Nabi Ismail a.s dan ramai sahabat r.a

Talaq 3 adakah jatuh 1 atau jatuh 3 sekaligus?

Poligami dibenarkan oleh syara' sekiranya boleh berlaku adil

Penilaian adil adalah bergantung kepada individu atau mungkin pihak berkuasa

Akad adalah persetujuan urus niaga di antara dua belah pihak

Adakalanya akad sekadar memerlukan isyarat atau ungkapan lisan atau mungkin memerlukan dokumentasi

Jual beli adalah halal dan riba adalah haram

Bentuk berlakunya riba mungkin berbeza dengan yang berlaku di zaman nabi

d. Peraturan-peraturan akhlak dan perilaku

Perkara yang tetap / pasti

Perkara yang mungkin berubah / tidak pasti

Islam mewajibkan berlaku adil sesama manusia

Takrifan adil adakalanya berbeza mengikut keadaan dan keperluan individu

Berbohong adalah perkara yang dilarang dalam syara'

Adakalanya berbohong dituntut umpamanya untuk menyelamatkan nyawa orang tidak bersalah atau untuk meleraikan persengketaan

Mencegah kemungkaran adalah suatu kewajipan

Kewajipan mencegah itu boleh berubah mengikut kemampuan orang yang melihatnya. Selain itu, mungkin juga ada kemungkaran yang tidak dicegah demi kepentingan agama yang lebih besar[15].

Contoh penerimaan salaf terhadap perkara-perkara yang khilaf[16]

1. Abu Hanifah dan pengikutnya, Al-Syafi'e serta imam-imam yang bersepakat dengan mereka tentang kewajipan membaca basmalah pada surah al-Fatihah di dalam solat masih menunaikan solat di belakang imam-imam solat di Madinah yang bermazhab Maliki, sedangkan mereka tidak mewajibkannya sama ada secara sirr atau jahar.

2. Khalifah Harun al-Rasyid solat sebagai imam selepas beliau berbekam, al-Qadi Abu Yusuf (murid Abi Hanifah) solat di belakangnya sebagai makmum. Abu Yusuf tidak mengulangi solatnya sekalipun beliau berpandangan bahawa berbekam membatalkan wuduk.

Perkara yang pasti tidak benar

Para sarjana Islam telah bersepakat bahawa hadith dhaif tidak boleh dijadikan hujah syarak. Mereka juga bersepakat bahawa hadith-hadith yang palsu termasuk dalam kategori perkara yang pasti tidak benar ia datang dari Nabi S.A.W. Contohnya:

i. Kisah Asiah (isteri Firaun) dan Maryam (ibu Nabi Isa a.s) bersama wanita-wanita suci (bidadari syurga) menziarahi Aminah pada malam beliau melahirkan Nabi Muhammad S.A.W[17].

ii. Kisah nabi Muhammad S.A.W dilindungi oleh awan semasa perjalanan untuk berniaga barangan Khadijah r.a sebelum kerasulan baginda[18].

iii. Hadith: "Rejab bulan Allah, Sya'ban bulanku dan Ramadan bulan umatku"[19].

iv. Hadith-hadith tentang kelebihan serban, antaranya: "Solat memakai serban menyamai 25 solat, solat Jumaat memakai serban menyamai 70 solat Jumaat"[20].

v. Hadith tentang kelebihan solat tarawih pada malam pertama hingga ke malam ketiga puluh.

Janji nabi S.A.W ke atas orang-orang yang mendustakan baginda ialah: disiapkan tempat di dalam neraka. Ini berdasarkan sabda rasulullah S.A.W:

من كذب عليّ متعمدا فليتبوأ مقعده من النار

Ertinya; "Barangsiapa yang berdusta ke atasku, maka siaplah tempat duduknya di dalam neraka"

Hadith ini mutawatir.

Penutup

Pengetahuan tentang isu al-qat'iyyat dan al-dzanniyyat dapat membantu umat Islam memahami beberapa perkara:

1. Terdapat batas-batas di dalam menjatuhkan hukuman ke atas mana-mana individu atau jamaah yang mengengkari satu-satu fakta dalam agama.

2. Menjadi kewajipan kepada umat untuk menerima dengan sepenuh hati setiap perkhabaran yang sahih dari Nabi Muhammad S.A.W sama ada dalam perkara aqidah, ibadah ataupun akhlak.

3. Di antara faktor berlakunya perbezaan pendirian di kalangan ulama ialah tentang cara memahami nas-nas yang dzanniy. Oleh itu umat patut berlapang dada jika khilaf yang berlaku itu mengikut disiplin ilmu yang benar. Tetapi jika khilaf itu tidak muktabar, amar ma'ruf nahi munkar dan nasihat yang baik perlu dilaksanakan untuk membawa setiap manusia ke jalan yang diredhai.

4. Ulama yang mengeluarkan pandangan perlu peka terhadap fakta-fakta yang qat'iy dan dzanniy.

Semoga perkara-perkara yang dibentang ini dapat membantu kita memahami kenapa berlakunya khilaf. Juga agar kita sedar manusia memiliki keupayaan yang berbeza-beza serta pandangan-pandangan yang tersendiri dalam menangani satu-satu masalah. Justeru itu, slogan untuk menyelaraskan umat dalam semua perkara adalah suatu yang tidak realistik. Namun apa yang penting adalah agar umat berpegang teguh kepada al-Quran dan alSunnah dengan disiplin ilmu yang benar, bukan secara taqlid membuta tuli.

والله أعلم


[1] Pendekatan ini digunakan oleh sarjana ahl al-Sunnah dalam menghukum golongan Muktazilah, Khawarij dan seumpamanya yang menafikan beberapa doktrin dalam aqidah Islam.

[2] Dalil bertambah iman: Al-Fath:4, Al-Mudaththir:31 dan lain-lain, manakala dalil berkurang iman ialah hadith tentang mencegah kemungkaran: "….yang demikian adalah selemah-lemah iman" H.R Muslim dan banyak lagi hadith yang lain.

[3] Rujuk: Abi al-'Izzi, Ali Bin Ali. Syarh al-'Aqidah al-Tahawiyyah. Damsyiq:Muassasah al-Risalah, ctk 4 1992, (2/462 dan seterusnya).

[4] Manhaj yang benar dan bijaksana di dalam bab ini tetap manhaj al-salaf al-soleh, namun firqah-firqah yang berbeza tidak dikufurkan jika takwilan itu dalam lingkungan yang diterima oleh Bahasa Arab

[5] Di antara dalilnya: Al-Tahrim:6

[6] Rujuk: Al-Qurtubi, Muhammad Bin Ahmad. Tafsir al-Qurtubi. Kaherah:Dar al-Sya'b, ctk 2 thn.1372H, (8/101).

[7] Hadith-hadith tentang soal kubur, nikmat dan azab kubur adalah mutawatir. Lihat: Abi al-'Izzi. Ibid (2/578).

[8] Di antara sarjana Islam yang menyatakan azab dengan roh sahaja ialah: Ibn Hazm al-Zohiri. Rujuk: Ibid (2/579-580)

[9] Al-'Adzim Abadi, Muhammad Syams al-Haq. 'Awn al-Ma'bud fi Syarh Sunan Abi Daud. Beirut:Daral-Kutub al-'Ilmiyyah, ctk 2, 1415H, (11307).

[10] ibid

[11] Apa yang pasti dari sudut syarak ialah: dibolehkan duduk bagi orang yang tidak berupaya, namun ulama berbeza pandangan tentang dudk bentuk manakah yang afdhal.

[12] Seluruh mazhab Islam menyatakan kesyariatan doa qunut, oleh itu dakwaan bahawa golongan yang dituduh Wahabi tidak berdoa qunut adalah bercanggah dengan fakta ilmu

[13] Ibn Taimiyyah, Ahmad Bin Abd. Al-Halim. Kutub wa Rasail wa Fatawi Ibn Taimiyyah fi al-Fiqh. Maktabah Ibn Taimiyyah, ctk t.t, (26/198,206,208)

[14] Al-Albani, Muhammad Nasir al-Din. Manasik al-Hajj. Riyadh:Maktabah al-Ma'arif li al-Nasyr wa al-Tawzi', ctk 1, 1999, (m.s 32)

[15] Perbahasan perkara seumpama ini didalami di dalam ilmu Fiqh Muwazanah dan Fiqh Awlawiyyat (Fiqh Pertimbangan dan Keutamaan)

[16] Al-Ulwani, Dr. Toha Jabir. Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam. Virginia:IIIT, ctk 5, 1992 (m.s 91-92)

[17] Lihat: Al-Barzanji, Abu Ja'far. Majmu'ah Maulud Syaraf al-Anam. Pulau Pinang:Maktabah wa Matba'ah al-Ma'arif, ctk. tanpa tarikh, (m.s 79)

[18] Riwayat yang sahih daripada Muslim, Abu Daud dan al-Nasai menunjukkan baginda S.A.W berlindung dengan bajunya daripada panas mentari semasa ihram.

[19] Lihat: Al-Syawkani, Muhammad Bin Ali. Al-Fawa'id al-Majmu'ah fi al-Ahadith al-Mawdhu'ah. Beirut:Dar al-Kitab al'Arabiy, ctk 1, 1986, (m.s 67, 116 dan 456)

[20] ibid (m.s 203)