Monday, May 07, 2007

Kewajipan Mengikut Cara Beragama Para Sahabat

KEWAJIBAN MENGIKUTI CARA BERAGAMANYA SAHABAT

Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat


Dan barangsiapa yang menentang/memusuhi Rasul sesudah nyata baginya
al-hidayah (kebenaran) dan dia mengikuti selain jalannya orang-orang mu’min,
nescaya akan Kami palingkan (sesatkan) dia ke mana dia berpaling (tersesat)
dan akan Kami masukkan dia ke dalam jahannam dan (jahannam) itu adalah
seburuk-buruknya tempat kembali. (An-Nisa’ : 115)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah di muqaddimah kitabnya “Naqdlul
Mantiq” telah menafsirkan ayat “jalannya orang-orang mu’min” (bahawa) mereka
adalah para sahabat. Maksudnya bahawa Allah telah menegaskan barangsiapa yang
memusuhi atau menentang rasul dan mengikuti selain jalannya para sahabat
sesudah nyata baginya kebenaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah dan
didakwahkan dan diamalkan oleh Rasulullah bersama para sahabatnya, maka
Allah akan menyesatkannya kemana dia tersesat (yakni dia terumbang-ambing
di dalam kesesatan).

Ayat yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat dan dalil yang paling tegas
dan terang tentang kewajipan yang besar bagi kita untuk mengikuti “jalannya
orang-orang mu’min” iaitu para sahabat. Yakni cara beragamanya para sahabat
atau manhaj mereka berdasarkan nash Al-Kitab dan As-Sunnah diantaranya ayat
di atas.

Jika dikatakan : Kenapa “sabilil mukminin atau jalannya orang-orang mukmin”
di ayat yang mulia ini ditafsirkan dengan para sahabat (?!) bukan umumnya
orang-orang mu’min??

Saya jawab berdasarkan istinbath (pengambilan; penggalian) dari ayat di
atas:

Pertama
Ketika turunnya ayat yang mulia ini, tidak ada orang mu’min di permukaan
bumi ini selain para sahabat. Maka, khithab (pembicaraan) ini pertama kali
Allah tujukan kepada mereka.

Kedua
Mahfumnya, bahawa orang-orang mu’min yang sesudah mereka (para sahabat) dapat
masuk ke dalam ayat yang mulia ini dengan syarat mereka mengikuti jalannya
orang-orang mu’min yang pertama yaitu para sahabat. Jika tidak, bererti
mereka telah menyelisihi jalannya orang-orang mu’min sebagaimana ketegasan
firman Allah di atas.

Ketiga
Kalau orang-orang mu’min di ayat yang mulia ini ditafsirkan secara umum,
maka jalannya orang mu’min manakah? Apakah mu’minnya Khawarij atau
Syiah/Rafhidhah atau Mu’tazilah atau Murji’ah atau Jahmiyyah atau Falasifah
atau Sufiyyah atau….atau…?

Keempat
Perjalanan orang-orang mu’min yang paling jelas arahnya, aqidah dan
manhajnya hanyalah perjalanan para sahabat. Adapun yang lain mengikuti
perjalanan mereka, baik aqidah dan manhaj.

Kelima
Perjalanan orang-orang mu’min yang paling alim terhadap agama Allah yaitu
Al-Islam hanyalah para sahabat. Allah telah menegaskan di dalam Kitab-Nya
yang mulia bahwa mereka adalah orang-orang yang telah diberi ilmu. (Muhammad
: 16)

Keenam
Perjalanan orang-orang mu’min yang mulia yang paling taqwa kepada Allah
secara umum hanyalah para sahabat.

Ketujuh
Perjalanan orang-orang mu’min yang paling taslim (menyerahkan diri) kepada
Allah dan Rasul-Nya secara umum hanyalah para sahabat.

Kelapan
Perjalanan orang-orang mu’min yang ijma’ (kesepakatan) mereka menjadi hujjah
dan menjadi dasar hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah
hanyalah ijma’ para sahabat. Oleh kerana itu tiada ada ijma’ kecuali para
sahabat atau setelah terjadi ijma’ di antara mereka. Demikian itu juga
sebaliknya, mustahil terjadi perselisihan apabila para sahabat telah ijma’.
Dan tidak ada yang menyalahi ijma’ mereka kecuali orang-orang sesat dan
menyesatkan yang telah mengikuti “selain jalannya orang-orang mu’min”.

Kesembilan
Perjalanan orang-orang mu’min yang tidak pernah berselisih di dalam aqidah
dan manhaj hanyalah perjalanan para sahabat bersama orang-orang yang
mengikuti mereka tabi’in dan tabi’ut tabi’in dan seterusnya.

Kesepuluh
Para sahabat adalah sebaik-baik umat ini dan pemimpin mereka.(Bacalah
I’laamul Muwaqqi’iin juz 1 hal 14 oleh Imam Ibnul Qayyim)

Kesebelas
Para sahabat adalah ulama dan muftinya umat ini. (Bacalah I’laamul
Muwaqqi’iin juz 1 hal 14 oleh Imam Ibnul Qayyim)

Keduabelas
Para sahabat adalah orang-orang yang pertama-tama beriman kepada Allah dan
RasulNya. Oleh kerana itu Allah memerintahkan manusia untuk mengikuti
mereka (Al-Baqarah :13)

Ketigabelas
Para sahabat telah dipuji dan dimuliakan oleh Allah dibanyak tempat di dalam
KitabNya yang mulia.

Keempat belas
Bahawa perjalanan para sahabat telah mendapat keredhaan Allah dan mereka pun
redha kepada Allah (At-Taubah :100)

Kelima belas
Perjalanan para sahabat telah menjadi dasar, bahawa Allah akan meradhai
perjalannnya orang-orang mu’min dengan syarat mereka mengikuti "jalannya
orang-orang mu’min yang pertama yaitu para sahabat". Mahfumnya, bahawa Allah
tidak akan meredhai mereka yang tidak mengikuti perjalanannya Al-Muhajirin
dan Al-Anshar (At-Taubah :100)

Keenam belas
Sebaik-baiknya sahabat para nabi dan rasul ialah sahabat-sahabat Rasulullah.

Ketujuh belas
Tidak ada yang marah dan membenci para sahabat kecuali orang-orang kafir.
(Tafsir Ibnu Katsir
surat Al-Fath :29)

Kelapan belas
Dan tidak ada yang menyatakan bodoh terhadap para sahabat kecuali
orang-orang munafik. (Al-Baqarah : 13)

Kesembilan belas.
Rasulullah telah bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah yang hidup di
zamanku, kemudian yang sesudah mereka" (Hadist Shahih mutawatir dikeluarkan
oleh Bukhari dan Muslim dan lain-lain)

Generasi pertama adalah sahabat, yang kedua tabi’in dan yang ketiga adalah
tabiut tabi’in. mereka inilah dinamakan dengan nama Salafush Shalih
(generasi pendahulu yang shalih) yakni tiga generasi terbaik dari umat ini.
Kepada mereka inilah kita meruju’ cara beragama kita dalam mengamalkan nash
Al-Qur’an dan As-Sunnah di atas. Sedangkan orang-orang yang mengikuti mereka
dinamakan Salafiyyun dari zaman ke zaman sampai hari ini.

Keduapuluh.
Rasulullah telah bersabda pada waktu hajjatul wada’ (haji perpisahan):
"Hendaklah orang yang hadir diantara kamu menyampaikan kepada yang tidak
hadir". (Hadist shahih riwayat Bukhari dan Muslim dari jalan beberapa orang
sahabat)

Hadist yang mulia ini meskipun bersifat umum tentang perintah tabligh dan
dakwah akan tetapi para sahabatlah yang pertama kali diperintahkan oleh
Rasulullah untuk bertabligh dan berdakwah, sebagai contoh bagi umat ini dan
agar diikuti oleh mereka bagaimana cara bertabligh dan berdakwah yang benar
di dalam menyampaikan yang hak. Oleh kerana itu hadist yang mulia ini
memberikan pelajaran yang tinggi kepada kita diantaranya:

(a). Bahawa dakwah mereka adalah haq dan lurus di bawah bimbingan Nabi yang
mulia.

(b). Bahawa mereka adalah orang-orang kepercayaan Rasulullah. Kalau tidak,
tentu Rasulullah tidak akan memerintahkan mereka untuk menyampaikan daripada
beliau.

(c). Bahawa mereka kaum yang benar, lawan dari dusta, yang amanat, lawan dari
khianat. Bahawa mereka telah di ta’dil (dinyatakan bersifat adalah : tsiqah/
terpercaya dan dhabt/teliti) oleh Rabb mereka, Allah, dan oleh nabi mereka.
Oleh kerana itu Ahlussunnah Wal Jama’ah telah ijma’ bahawa mereka tidak perlu
diperiksa lagi dengan sebab di atas. Keadilan dan ketsiqahan mereka tidak
diragukan lagi. Allahumma! Kecuali oleh kaum Syi’ah dan Rafhidhah dari cucu
Abdullah bin
Saba’ si Yahudi hitam dan orang-orang mereka yang dahulu dan
sekarang.

(d). Bahawa wajib bagi kita kaum muslimin mengikuti cara dakwahnya para
sahabat, bagaimana dan apa yang mereka dakwahkan dan seterusnya. Adapun
dalam masalah keduniaan seperti alat dan mengikuti perkembangan zaman
dan tingkat pengetahuan manusia, seperti menggunakan kendaraan yang ada pada
zaman ini atau alat perekam dan pengeras suara dan lain-lain kita bebas melakukannya selagi tiada dalil yang melarang.

Keduapuluh satu.
Rasulullah telah bersabda : "Janganlah kamu mencaci-maki sahabat-sahabatku!
Kalau sekiranya salah seorang daripada kamu menginfaqkan emas sebesar gunung
Uhud, nescaya tidak akan mencapai darjat mereka satu mudpun atau setengah
mud". (Hadist Shahih riwayat Bukhari dan Muslim)

Keduapuluh dua.
Para sahabat secara umum telah dijanjikan jannah (syurga). (At-Taubah : 100)

Keduapuluh tiga.
Secara khusus sebahagian sahabat telah diberi khabar gembira oleh Nabi sebagai
penghuni syurga, seperti Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali dan lain-lain.

Keduapuluh empat.
Para sahabat telah berhasil menguasai dunia membenarkan janji Allah di dalam
Kitab-Nya yang mulia (Tafsir Ibnu Katsir
surat An-Nuur ayat 55)

Keduapuluh
lima.
Perjalanan orang-orang mu’min yang paling kuat “Ukhuwwah Islamiyyahnya”
ialah para sahabat berdasarkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah serta sejarah.

Keduapuluh enam.
Di dalam ayat yang mulia ini Allah tidaklah mencukupkan firman-Nya dengan
perkataan: ”Barangsiapa yang memusuhi Rasul sesudah nyata baginya
kebenaran…., nescaya akan palingkan dia….”. dan kalau Allah mencukupinya
sampai disitu pasti hak/benar. Akan tetapi terdapat hikmah yang dalam ketika
Allah mengkaitkan dengan “dan dia mengikuti selain jalannya orang-orang
mu’min -iaitu para sahabat. Dari sini kita mengetahui, bahawa di dalam
berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, harus ada jalan atau cara di dalam
memahami keduanya. Jalan atau cara itu adalah “jalannya orang-orang mu’min
iaitu para sahabat”. Jadi urutan dalilnya sebagai berikut : Al-Qur’an
As-Sunnah. Keduanya menurut pemahaman para sahabat atau cara beragama
mereka, aqidah dan manhaj.


http://www.almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=907&bagian=0

(Disalin dari Majalah As-Sunnah edisi : 02/V/1421-2001M, hal 51-53, Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl Solo Purwodadi Km 8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183)

Wednesday, May 02, 2007

Pengamal Bid'ah Mendapat pahala!

http://salafyitb.wordpress.com/2007/01/28/pelaku-bidah-diberi-pahala/#more-50

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh,


Berkata As-Syaikh Al-Allamah Muhammad ibn Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah dalam kitabnya Al-Qoulul Mufid jilid 1 hal 385

إن البدعة شر ولو حسن قصد فاعلها, ويأثم إن كان عالما أنها بدعة ولو حسن قصده, لأنه أقدم على المعصية, كمن يجيز الكذب والغش ويدعي أنه مصلحة, أما لو كان جاهلا فإنه لايأثم, لأن جميع المعاصي لا يأثم بها إلا مع العلم, وقد يثاب على حسن قصده, وقد نبه على ذلك شيخ الإسلام ابن تيمية في كتابه “اقتضاء الصراط المستقيم”, فيثاب على نيته دون عمله, فعمله هذا غير صالح ولامقبول عند الله ولامرضي, لكن لحسن نيته مع الجهل يكون له أجر, ولهذا قال صلى الله عليه وسلم للرجل الذي صلى وأعاد الوضوء بعدما وجد الماء وصلى ثانية:”لك الأجر مرتين”, لحسن قصده, ولأن عمله عمل صالح في الأصل, لكن لو أراد أحد أن يعمل العمل مرتين مع علمه أنه غير مشروع, لم يكن له أجر لأن عمله غير مشروع لكونه خلاف السنة, فقد قال النبي صلى الله عليه وسلم للذي لم يعد:”أصبت السنة”.

Sesungguhnya bid’ah itu jelek meskipun pelakunya bermaksud baik.Dan dia berdosa apabila tahu bahawa apa yang dikerjakannya adalah bid’ah meskipun niatnya baik. Ini kerana dia telah mendahulukan maksiat. Sebagaimana orang jika menghalalkan berdusta dan menipu dengan dalih adanya kemaslahatan.Adapun apabila dia jahil (bodoh/ tidak tahu) maka dia tidak berdosa. Ini kerana semua maksiat tidaklah diberikan dosa kecuali dia mengetahuinya (bahawa itu maksiat).Dan akan diberi pahala di atas niat baiknya. Sesungguhnya Syaikhul Islam Ibnu taimiyah telah menjelaskan hal itu di dalam kitabnya “Iqtidho Shirothol Mustaqim”. Maka diberi ganjaran dengan pahala atas niatnya bukan atas amalannya.Amalnya ini tidak benar dan tidak diterima disisi Allah dan tidak pula diredhai,akan tetapi terhadap niat baiknya yang disertai kejahilannya tersebut tetap di beri pahala. Berkata Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam terhadap seseorang yang sholat dengan (tayamum) kemudian mengulangi wudhu setelah menemui air dan mengulangi sholatnya :“Lakal ajru marrotaini” (bagi mu dua pahala).Ini kerana niat baiknya,dan kerana amalannya pada asalnya adalah amalan sholeh,akan tetapi jika seseorang mengerjakan amal tadi dua kali padahal tahu bahawa itu tidak disyariatkan , maka tidaklah berpahala baginya kerana ini menyelisihi sunnah. Ini kerana terhadap orang yang tidak mengulangi wudhunya, Rasulullah mengatakan “anda mendapatkan sunnah”

Hal ini memang benar difahami juga demikian oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “Iqtidho Shirothol Mustaqim” (20/31)

ففي الجملة الأجر هو على اتباعه الحق بحسب اجتهاده، ولو كان في الباطن حق يناقضه هو أولى بالاتباع لو قدر على معرفته لكن لم يقدر؛ فهذا كالمجتهدين في جهات الكعبة.
وكذلك كل من عَبدَ عبادة نُهي عنها ولم يعلم بالنهي - لكن هي من جنس المأمور به- مثل
من صلى في أوقات النهي، وبلغه الأمر العام بالصلاة ولم يبلغه النهي، أو تمسك بدليل خاص مرجوح، مثل صلاة جماعة من السلف ركعتين بعد العصر؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم صلاَّهما.. فإنها إذا دخلت في عموم استحباب الصلاة ولم يبلغه ما يوجب النهي أثيب على ذلك، وإن كان فيها نهي من وجه لم يعلم بكونها بدعة تتخذ شعاراً، ويجتمع عليها كل عام .. فهذا يغفر له خطؤه ويثاب على جنس المشروع، وكذلك من صام يوم العيد ولم يعلم بالنهي.
بخلاف ما لم يُشرع جنسه مثل الشرك؛ فإن هذا لا ثواب فيه وإن كان الله لا يعاقب صاحبه إلا بعد بلوغ الرسالة كما قال تعالى (وما كنا معذبين حتى نبعث رسولاً)، لكنه وإن كان لا يعذب فإ هذا لا يثاب، بل هذا كما قال تعالى (وقدمنا إلى ما عملوا من عمل فجعلناه هباءً منثوراً)..
فكل عبادة غير مأمور بها فلا بد أن يُنهى عنها، ثم إن علم أنها منهي عنها وفعلها استحق العقاب، فإن لم يعلم لم يستحق العقاب.
وإن اعتقد أنها مأمور بها وكانت من جنس المشروع فإنه يثاب عليها، وإن كان من جنس الشرك فهذا ليس فيه شيء مأمور به …”.

Dalam konteks ini, pahala itu bagi yang berittiba’ dengan al-haq sesuai ijtihadnya. Meskipun dalam batinnya mengingkarinya,maka yang demikian lebih utama untuk berittiba’ jika ditakdirkan mengetahuinya. Tetapi jika tidak mengetahuinya,maka kedudukannya seperti orang berijtihad dalam menentukan arah kiblat.
Dan demikian semua yang beribadah dengan ibadah yang pada hakikatnya terlarang (tetapi asal ibadahnya tersebut diperintahkan) namun dia tidak tahu, seperti misalnya orang yang sholat diwaktu-waktu yang diharamkan. Telah sampai kepadanya perintah sholat secara umum,tapi tidak tahu akan adanya larangan tersebut.Atau dia berpegang pada dalil khusus yang lemah, semisal sholatnya sesetengah salaf dua rakaat setelah ashar dengan alasan Nabi melakukannya…maka yang seperti ini apabila masuk pada keumuman disukainya sholat tetapi belum sampai kepadanya larangan tersebut meskipun itu bid’ah yang dijadikan syiar dan dilakukan tiap tahun……Maka kesalahan ini dimaafkan dan diganjar pahala dari jenis amal yang disyariatkan (sholatnya tadi).Dan demikian juga seperti berpuasanya seseorang di hari raya kerana tidak tahu akan adanya larangan.Ini berbeza seperti kesyirikan yang memang pada asalnya nya perbuatannya syirik ini tidak disyariatkan, maka tidak akan diberi pahala meskipun Allah tidak akan mengadzab pelakunya kecuali telah sampai risalah kepadanya sebagaimana firman Allah:“Tidaklah kami mengadzab kecuali telah kami utus Rasul”. Akan tetapi meskipun tidak di adzab apalagi diberi pahala, keadaannya amalnya sebagaimana difirmankan Allah:“Dan kami hadirkan kepada apa yang telah diamalkannya maka kami jadikan bagai debu berterbangan”

Setiap ibadah yang tidak diperintahkan maka terlarang, kemudian apabila dia tahu bahawasannya terlarang tetapi tetap melakukannya, maka dia berhak mendapat ancaman Tetapi jika dia tidak tahu maka tidak mendapat ancaman. Dan meskipun dia berkeyakinan bahawasannya apa yang dia kerjakan itu diperintahkan,tetapi kerana amalannya tersebut memang jenis asalnya disyariatkan,maka dia berpahala,akan tetapi jika daripada jenis amalan syirik maka kesyirikan bukanlah dari jenis amalan yang diperintahkan….

Wassalam,

Abu Umair As-Sundawy

Monday, April 30, 2007

Sunday, April 29, 2007

Kedudukkan saf kanak-kanak

Seringkali kita perhatikan di kebanyakkan masjid atau surau kedudukan saf kanak-kanak semasa solat berjemaah diasingkan daripada saf orang-orang dewasa. Fenomena ini merupakan fenomena biasa yang telah berlaku di negara kita Malaysia secara khusus semenjak dari dahulu lagi. Tidak dinafikan bahawa pendapat yang menyatakan saf kanak-kanak perlu diasingkan daripada saf dewasa juga sebahagian daripada ijtihad ulama berdasarkan beberapa dalil yang akan dibincangkan.


Satu perkara yang penting untuk diingatkan bahawa pendapat ijtihad para ulama terdedah kepada kesalahan, walaupun demikian mujtahid yang berijtihad tetapi ijtihadnya tidak tepat baginya satu pahala sementara bagi ijtihad yang betul dua pahala, seperti hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari.


Amr bin al-‘As r.a pernah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:


إذَا حَكَمَ الحَاكِمُ فَاجتَهدَ ثُمَّ أصَابَ فَلَهُ أجْرَان، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهدَ ثُمَّ أخْطَأَ فَلَهُ أجْرٌ.


Maksudnya:
"Apabila seorang hakim berijtihad kemudian ijtihadnya betul, dia mendapat dua pahala. Apabila dia berijtihad tetapi salah, dia tetap mendapat satu pahala."


Bagi mereka yang telah mengetahui bahawa sesuatu pendapat itu tidak tepat, maka kewajipannya berpegang kepada pendapat yang berdasarkan dalil yang tepat dan tinggalkan pendapat yang tidak kuat.


1- Galakan membawa anak ke masjid


Membawa anak-anak ke masjid ialah suatu perbuatan yang amat digalakkan, ini kerana dengan melaziminya akan membiasakan mereka untuk bersolat di masjid. Adalah menjadi tanggungjawab serta perhatian kepada setiap ibubapa atau penjaga, apabila anak-anak mereka mencapai usia tujuh tahun untuk disuruh melakukan solat dan melazimi mereka ke masjid. pukullah mereka setelah mencapai sepuluh tahun sekiranya mereka tidak melakukan solat.


Nabi s.a.w bersabda di dalam sebuah hadis yang sahih diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud:


مُرُوا أَوْلاَدَكُم بِالصَّلاَةِ وَهُم أبنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوهُم عَلَيها وَهُم أبنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ.


Maksudnya:
Perintahkanlah anak-anak kamu untuk mendirikan solat ketika umur tujuh tahun, dan pukullah mereka (sekiranya mereka tidak mendirikan solat) ketika umur mereka sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka antara lelaki dan perempuan.


Inilah tarbiyyah (didikan) kepada anak-anak yang ditunjukkan oleh Nabi s.a.w. menunjukkan betapa pentingnya kedudukan solat itu di dalam Islam. Disamping menyuruh mereka bersolat dan memukulnya sekiranya mereka meninggalkannya, ibubapa juga perlu memberi perhatian dalam memisahkan tempat tidur antara anak lelaki dan anak perempuan.


Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim daripada Abu Qatadah al-Ansori r.h. beliau berkata:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى الله عليه وَسَلَّم يَؤُمُّ النَّاسَ وأُمَامَةُ بِنْت أبِي العَاص وَهِيَ ابنَةُ زَيْنَبَ بِنْت النبي صَلَّى الله عليه وَسَلَّم عَلَى عَاتِقِهِ، فَإذَا رَكَعَ وَضَعَهَا وَإِذَا رَفَعَ مِن السُّجُوْدِ أَعَادَهَا.


Maksudnya:
Aku melihat Nabi s.a.w mengimami solat sedang mendukung Umamah binti Abi al-As yang juga anak perempuan Zainab binti Rasulillah s.a.w. Apabila baginda rukuk diletakkannya dan apabila bangun dari sujud baginda mengangkatnya semula.


Daripada hadis ini beberapa pelajaran yang boleh diperolehi:

  • Perbuatan Nabi s.a.w. mendukung cucunya Umamah sewaktu mengimami solat menunjukkan tiada halangan membawa masuk kanak-kanak ke dalam masjid.
  • Faedah lain yang boleh diperolehi dari hadis ini juga menunjukkan bahawa kanak-kanak yang belum mumaiyiz tidak membatalkan solat seseorang seperti yang disalah fahami oleh sebahagian pihak dengan menyatakan sekiranya kanak-kanak berada di dalam satu saf dengan orang dewasa akan menyebabkan satu saf terbatal. Pendapat ini batil sama sekali.
  • Pergerakan yang lebih dari tiga kali tidak membatalkan solat seseorang. Perbuatan Nabi s.a.w meletak dan mengangkat cucunya ketika solat sudah pasti melebihi tiga pergerakan yang besar tetapi ianya tidak membatalkan solat baginda s.a.w.

Kesimpulannya sekiranya kanak-kanak yang mencapai umur mumaiyiz iaitu dalam lingkungan tujuh tahun ke atas maka tidak dihalang membawa anak-anak ke masjid bahkan ianya digalakkan sebagai latihan untuk membiasakan mereka bersolat di masjid. Adapun kanak-kanak yang kurang dari umur tujuh tahun atau yang belum mumaiyiz maka ia tidak digalakkan kecuali sekiranya boleh dikawal dari mengganggu orang lain atau mengotorkan masjid. Juga sekiranya ada hajat yang mendesak, contohnya tiada sesiapa yang boleh menjaganya di rumah dan sebagainya. Ini antara yang dinyatakan oleh Lajnah Daimah iaitu majlis fatwa Saudi juga pendapat yang dikemukan oleh Syeikh Soleh al-Fauzan.


Adapun hadis yang diguna oleh sebahagian pihak yang melarang membawa kanak-kanak ke masjid merupakan hadis yang dhoif dan tidak boleh dijadikan hujah iaitu:

Hadisnya berbunyi:
جَنِّبُوا مَسَاجِدَكُمْ صِبْيَانَكُمْ..

Maksudnya: Jauhkanlah kanak-kanak dari masjid. hadis ini diriwayatkan oleh Ibn Hibban(hadis dhoif).


2- Saf kanak-kanak

Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim daripada Anas r.h. beliau berkata:
أنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَم صَلَّى في بيتٍ أُمِّ سُلَيْمٍ فَقُمْتُ أَناَ وَيَتِيْمٌ خَلْفَهُ وَأُمِّ سُلَيْم خَلْفَنَا


Maksudnya:
Nabi s.a.w. bersolat dirumah Ummu Sulaim, Aku (Anas) dan seorang yatim mengikutnya bersolat dibelakangnya dan Ummu Sulaim dibelakang kami.

Ibn Abbas r.h. berkata:


تُّ عِنْدَ خَالَتِي مَيْمُونَةَ، فَقَامَ النَّبِي صَلَّى الله عليه وَسَلَّم يُصَلِّيبِ مِنَ اللَيْلِ، فَقُمْتُ أُصَلِّي مَعَهُ، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ، فَأَخَذَ بِرَأْسِي وَأَقَامَنِي عَنْ يَمِيْنِهِ.

Maksudnya:
Aku bermalam di rumah ibu saudaraku Maimunah, pada malam itu Nabi s.a.w. bersolat. Maka akupun bersolat bersamanya lalu berdiri di sebelah kirinya. Kemudian Nabi s.a.w. memegang kepalaku sambil menarik aku ke sebelah kanannya. Hadis riwayat al-Bukhari.

Kedua-dua hadis di atas dalil menunjukkan kanak-kanak yang belum baligh boleh bersolat bersama orang dewasa tanpa mencacatkan solatnya. Hadis yang pertama Anas bersolat bersama seorang anak yatim di belakang Nabi s.a.w. maka sudah tentu anak yatim tersebut seorang yang belum baligh, sekiranya sudah baligh tidak dipanggil anak yatim lagi. Semetara hadis yang kedua Ibn Abbas yang ketika itu masih kecil bersolat disebelah Nabi s.a.w.

Jelaslah bahawa tiada saf yang khusus dijadikan untuk kanak-kanak seperti yang dilakukan oleh sebahagian masjid. kanak-kanak boleh dimasukkan sekali ke dalam saf orang dewasa.

Di dalam kitab-kitab feqah dinyatakan susunan saf ketika solat berjemaah seperti yang dinyatakan oleh Abdul Karim Zaidan di dalam kitabnya "al-Mufassal" jilid 1, hal. 244-245, hendaklah saf dimulai orang dewasa kemudian diikuti oleh kanak-kanak kemudian khunsa seterusnya perempuan dan akhirnya kanak-kanak perempuan. Pendapat ini juga dipegang oleh mazhab hanbali, seperti yang dinyatakan di dalam kitab "al-Mughni" jilid 2 hal. 429.

Dikalangan ulama’-ulama’ syafieyyah juga berpendapat sedemikian. Tetapi saya melihat walupun mereka berkata demikian iaitu susunan saf seperti yang dinyatakan "dimulai orang dewasa kemudian diikuti oleh kanak-kanak kemudian khunsa seterusnya perempuan dan akhirnya kanak-kanak perempuan" namun mereka tidak mengkhususkan satu saf untuk kanak-kanak sehingga mereka langsung tidak boleh bersolat satu saf dengan orang dewasa. Ini dibuktikan dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Khatib al-Syarbini di dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj ila Makrifati Ma’ani alfaz al-Minhaj, jilid 1, hal. 492:


وَإِنَّمَا تُؤَخِّرُ الصِّبْيَان عَنْ الرِّجَالِ كمَا قالَ الأذْرَعِي إذَا لَمْ يَسعَهُم صَفَّ الرِّجَال وإلا كَمَلَ بِهِمْ.


Maksudnya:
Adapun dibelakangkan kanak-kanak daripada orang dewasa seperti yang diperkatakan oleh al-Azraie apabila saf orang dewasa telah penuh, tetapi sekiranya terdapat kekosongan pada saf orang dewasa maka ianya diisi dengan kanak-kanak.

Jelas daripada apa yang dikatakan oleh Imam Khatib al-Syarbini ini. sekiranya saf orang dewasa terdapat kekosongan maka saf tersebut perlu diisi dengan kanak-kanak. Tidak terdapat di sana saf yang dikuhususkan kepada kanak-kanak. Wallahu a’lam.


3- Mengkhususkan saf untuk kanak-kanak


1- Antara dalil yang digunakan oleh mereka yang mengkhususkan saf bagi kanak-kanak sehingga menjadikan saf kanak-kanak jauh di belakang masjid ialah hadis yang diriwayatkan Muslim:


لِيَلِنِي مِنْكُم أُوْلُو الأَحْلاَمِ وَالنُّهَى ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُونَهُم، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُونَهُمْ

Maksudnya:
Hendaklah mereka yang berada dibelakangku ahli ahlam (baligh) dan Nuha (beraqal), kemudian seterusnya dan seterusnya…(juga maksud ulil ahlam dan nuha ialah mereka yang mempunyai ilmu dan tahu hukum hakam solat berjemaah, boleh membetulkan imam sekiranya tersilap)

Syeikh Soleh Ibn Utsaimin menjawab: dalil ini tidak tepat untuk dijadikan hujah mengasingkan kanak-kanak daripada saf orang dewasa. Ia juga bertentangan dengan sabda Nabi s.a.w.


مَنْ سَبَقَ إِلَى مَا لَمْ يَسْبِقُهُ إِلَيْهِ أَحَدٌ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ

Maksudnya: sesiapa yang mendahului orang lain kepada sesuatu maka dia lebih berhak mendapatkannya.

Hadis yang diriwayatkan Muslim di atas membawa maksud galakkan dan gesaan kepada ulil ahlam dan nuha iaitu yang baligh dan beraqal supaya berada di belakang Rasulullah kerana mereka lebih faham daripada kanak-kanak.

Nabi tidak menyatakan لاَ يَلِيْنِي إلاَّ أُوْلُو الأَحْلاَمِ وَالنُّهَى yang bermaksud jangan berada dibelakangku kecuali yang baligh dan beraqal. Sekiranya lafaz hadis datang seperti lafaz ini iaitu tegahan berada dibelakang Nabi kecuali kepada mereka yang dinyatakan maka ketika itu barulah membawa hukum kanak-kanak tidak boleh berada di saf belakang Nabi s.a.w.

Tetapi walaupun demikian para ulama’ bersetuju bahawa mereka yang sepatutnya berada di belakang imam ialah mereka yang baligh dan beraqal yang mempunyai ilmu tentang solat, supaya sekiranya terjadi sesuatu maka orang yang berada di belakang imam tahu apa yang perlu dilakukan.

Ibn Qudamah al-Maqdisi menyatakan:


السُّنَّةُ: أَن يَتَقَدَّمَ فِي الصفِّ الأوَّل الفَضْلُ وَالسِّنُّ، وَيَلِي الإمام أكْمَلُهُم وَأفضَلُهم، قال أحمد: يَلِي الإمامُ الشُّيُوخُ وأهلُ القُرْآنِ وَتُؤَخِّرُ الصِبْيَانَ وَالغِلمانَ وَلاَ يَلُونَ الإمَام.

Maksudnya:
Sunnah: mendahului mereka yang baik dan berumur pada saf yang pertama, dan mereka yang berada dibelakang imam yang paling baik dan sempurna dikalangan mereka. Imam Ahmad berkata: yang berada di belakang imam mereka yang lebih tua, dan ahli al-Quran, dan di belakangkan kanak-kanak serta tidak di tempatkan di belakang imam. (Al-Mughni, jilid 2, hlm.429)


Ingin saya ingatkan bukan hanya kanak-kanak sahaja yang tidak sepatutnya duduk dibelakang imam tetapi merupakan satu kesalahan juga sebahagian orang awam yang sering melazimi belakang imam sedangkan mereka tidak tahu hukum hakam yang berkaitan dengan solat berjemaah. Nanti akan menyebabkan mereka tidak tahu tindakan yang perlu dilakukan apabila terjadi sesuatu kepada imam.


2- Satu lagi dalil yang dijadikan hujah untuk mengasingkan kanak-kanak daripada saf orang dewasa ialah hadis:


كَانَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عليه وَسَلَّمَ يَجْعَلُ الرِّجَال قدَّام الغِلْمَان، والغلمانُ خَلْفَهُم، والنِّسَاءُ خَلْفَ الغِلْمَان

Maksudnya:
Rasulullah s.a.w. menjadikan saf orang dewasa dihadapan kanak-kanak, dan saf kanak-kanak dibelakang mereka semetara saf perempuan di belakang kanak-kanak.

Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud. Syeikh al-Albani menyatakan:
"Sanad (rangkaian perawi) hadis ini dhoif (lemah). Terdapat seorang periwayat hadis yang lemah namanya Syahr bin Husyab. Menjadikan saf kanak-kanak di belakang saf dewasa aku tidak mendapati hadis yang lain kecuali hadis ini sahaja dan ianya tidak boleh dijadikan hujah. Aku berpendapat tidak mengapa kanak-kanak bersolat sekali dengan saf dewasa sekiranya terdapat kekosongan. Hadis Anas yang bersolat bersama seorang anak yatim dibelakang Rasulullah s.a.w. menjadi hujah dalam masalah ini." (Tamamul Minnah, hlm. 284)

3- Antara hujah yang digunakan juga ialah kanak-kanak itu menaggung najis yang sekiranya bersolat bersama di dalam satu saf maka akan batallah satu saf tersebut. Hujah ini hujah yang tidak dibina di atas dalil al-Quran dan sunnah. Bahkan seperti yang dinyatakan Nabi s.a.w. mendukung Umamah cucunya ketika solat.

Imam Ibn Rajab al-Hanbali menyatakan:
Hadis menunjukkan bersihnya pakaian kanak-kanak, sekiranya dihukumkan najis sudah tentu Nabi tidak mendukungnya, begitu juga yang dinaskan (disebut) oleh Imam al-Syafie dan selainnya.

Mengasingkan kanak-kanak di belakang masjid atau menyisihkan mereka sewaktu berada di masjid akan mengundang perkara negatif seperti:

  • Akan menyebabkan kanak-kanak tidak suka kepada masjid, apabila ini berterusan ia akan melekat di dalam dirinya. Apabila mereka meningkat dewasa mereka akan menjauhkan diri dari institusi masjid.
    Mereka akan merasakan masjid bukan tempat untuk kanak-kanak atau orang muda kerana apabila mereka datang ke masjid seolah-olah mereka ini tidak dilayan dan ditempatkan di saf yang paling belakang.
  • Mereka akan merasakan mereka tiada hak untuk duduk di dalam saf, ini kerana apabila hadir awal dan duduk di saf hadapan maka pasti akan ada siak yang menyuruhnya ke belakang sedangkan tempat itu merupakan haknya.
  • Menimbulkan rasa benci kepada orang yang memarahi dan menyuruhnya duduk di belakang. Sehingga sebahagian masjid ada menyediakan pegawai yang memegang rotan untuk mengawal kanak-kanak.
    Keburukan apabila mengumpulkan kanak-kanak di satu tempat di belakang masjid sudah pasti mereka akan bermain sesama sendiri dan membuat bising seterusnya mengganggu orang yang berada di dalam masjid. Itu merupakan fitrah kanak-kanak. Untuk mengelakkan perkara ini berlaku adalah lebih baik kanak-kanak itu duduk bersama ayahnya atau penjaganya sewaktu berada di dalam masjid kerana ini menghalang untuk mereka berkumpul dan membuat bising.


4- Mendahului kanak-kanak yang mempunyai kelebihan


Kanak-kanak yang mempunyai kelebihan seperti mereka yang menghafal al-Quran dan bagus bacaannya atau kanak-kanak yang dianugerahkan Allah akan ilmu dalam agama boleh dikehadapankan daripada orang awam biasa. Sehingga boleh dilantik sebagai imam walaupun belum mencapai usia baligh. Imam Khatib al-Syarbini menyatakan:


وَقِيْل: إنْ كَانَ الصِبْيَانُ أفضَلُ مِن الرِّجَالِ كَأَنْ كَانُوا فِسْقَة وَالصِبْيَانُ صَلْحَاء قَدِّمُوا عَلَيْهِم، قَالَهُ الدَّارِمِي.


Maksudnya:

Dikatakan: sekiranya kanak-kanak lebih afdhal (baik) daripada orang dewasa seperti merka fasiq tetapi kanak-kanak itu dari kalangan baik dan bagus maka kanak-kanak itu dikehadapankan daripada orang dewasa. Pendapat ini disebutkan oleh al-Darimi. (Mughni al-Muhtaj, jilid 1, hlm. 492)

Persoalan yang mungkin timbul ialah adakah sah solat yang diimami oleh kanak-kanak yang belum baligh?


Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Amr bin salamah al-Jurmi mengimami kaumnya sedangkan umurnya ketika itu enam atau tujuh tahun.

Nabi s.a.w. bersabda:


أنه يَؤُمُّهُم أكثَرُهُم قُرْآناً

Maksudnya:
Yang mengimami mereka ialah yang paling baik bacaan al-Qurannya.
Ketika dibaca sabda Nabi ini, orang ramai melihat-lihat kiri dan kanan maka mereka dapati tidak ada orang lain yang lebih baik bacaannya kecuali Amr bin salamah al-Jurmi, kemudian beliau mengimami solat kaumnya. Hadis ini dalil kepada sahnya solat yang diimami oleh kanak-kanak yang belum baligh.

Fatwa ini juga dinyatakan oleh Syeikh Abdul Aziz ibn Baz dan Syeikh Muhammad Soleh ibn Utsaimin

-والله تعالى أعلم-

Wednesday, April 25, 2007

Majlis Taman Syurga, Ke Arah Pemantapan Aqidah Mengikut Aqidah Rasulullah SAW dan Para Sahabat RA

Majlis Taman Syurga, Ke Arah Pemantapan Aqidah Mengikut Aqidah Rasulullah SAW dan Para Sahabat RA

Daurah Aqidah Untuk Perempuan

Tarikh: 5-6 Mei 2007 (Sabtu dan Ahad)

Masa: 9:00 pagi (5 Mei)- 2:00 petang (6 Mei)

Lokasi: Qiblah Resort, Bangi, Selangor

Yuran: RM 30.

Kenderaan disediakan dari UIA.

Untuk yang berminat sila hubungi:

Ili Dalila, 012-2160194

Penyertaan terhad. Sila daftar segera!

Anjuran: Institut Imam asy-Syafie (INTIS) Consultant and Training.

Sunday, April 22, 2007

Amalkan budaya politik beradab

Oleh: DR. ASYRAF WAJDI DUSUKI



KEKECOHAN yang d
ilaporkan ketika proses penamaan calon bagi pilihan raya kecil Dewan Undangan Negeri (DUN) Ijok Khamis lalu amat mendukacitakan. Peristiwa balingan botol dan pelbagai objek lain yang boleh mencederakan antara penyokong kedua belah parti bertanding lebih menonjolkan budaya politik dangkal dan kurang matang.


Persoalannya, apakah peristiwa ini menggambarkan kehidupan dan budaya politik masyarakat Malaysia hari ini yang semakin celaru dan menggawatkan? Atau apakah dunia politik demokrasi kita sedang mengalami kekeringan makna dan kegersangan nilai lantaran menggejalanya pelbagai perilaku sumbang dan songsang?

Memang tidak dinafikan pilihan raya merupakan instrumen terpenting dalam sistem demokrasi yang perlu dimanfaatkan sebaiknya oleh rakyat untuk memilih pemimpin yang benar-benar berkemampuan untuk mewakili suara mereka kelak. Namun pilihan raya dalam sistem demokrasi tidak wajar dimartabatkan setinggi kedudukan agama sehingga melupakan segala had dan batasan akhlak, apatah lagi peraturan yang digariskan syarak.

Yang pasti pilihan raya bukan sekadar pesta di malam hari yang berkumandangan suara-suara bersemangat pemidato-pemidato untuk mempengaruhi pengundi. Pilihan raya juga tidak seharusnya menjadi pentas adu domba dan sebaran spekulasi yang memualkan. Lebih malang lagi jika pilihan raya menjadi wahana penyubur budaya fitnah dengan alunan cacian, makian sambil memperjudikan ayat-ayat suci Allah bagi meraih undian.

Apa yang penting dalam suasana kehangatan pilihan raya yang begitu mudah isu-isu dan sentimen pembakar semangat dicetuskan, rakyat harus kental berprinsip agar tidak mudah termakan dengan sebarang bentuk elemen provokasi yang boleh mengundang perbalahan.

Masyarakat juga perlu lebih berwaspada agar tidak mudah terpengaruh dengan cerita-cerita palsu yang mengelirukan. Setiap cerita sensasi yang meragukan haruslah diselidiki agar kita tidak membuat keputusan yang salah khususnya dalam memilih pemimpin.

Cukuplah amaran Allah dijadikan pedoman: Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahawa bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar (an-Nur: 11).

Al-Quran turut memberi peringatan keras kepada mereka yang mendengar dan menyebar fitnah dan tuduhan palsu, tanpa sikap berbaik sangka atau memastikannya terlebih dahulu. Peringatan ini disampaikan dalam konteks kisah ‘al-Ifk’ iaitu peristiwa isteri Nabi s.a.w. sendiri, Sayidatina Aisyah yang turut difitnah (Lihat an-Nur: 16-17).

Malangnya ramai ahli politik Islam sendiri hanyut dalam arus budaya dan amalan politik Machiavelli yang menghalalkan segala cara demi mencapai cita-cita. Perlakuan seumpama ini secara jelas membelakangkan prinsip akhlak dan nilai keagamaan.

Sikap sesetengah ahli politik yang mengambil kesempatan daripada kejahilan rakyat turut menyebabkan pilihan raya yang menjadi medan terbaik memilih pemimpin tidak ubah seperti pentas opera yang sarat adegan fantasi, dongengan dan tipu daya.

Akhirnya, pilihan raya tidak lagi dijadikan alat, malah dalam banyak keadaan dipertuhankan dengan harapan kuasa dapat dikecap dengan apa cara sekalipun. Fenomena ini tentunya bertentangan dengan ajaran Islam yang jelas menggariskan: Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kamu kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui (al-Hujurat: 1).

Menggejalanya budaya politik yang dangkal dan tidak beradab, pastilah akan mudah menghakis jati diri dan membunuh idealisme perjuangan sejati. Penyimpangan budaya politik ini juga bakal menuntut kepada permasalahan yang lebih besar sehingga mampu meleburkan semangat ukhuwah, memecah perpaduan umat dan memporak-perandakan negara.

Justeru, budaya politik umat harus segera dijernihkan. Amalan berparti dan berpolitik yang ada memerlukan pendewasaan agar umat tahu batasan dan sempadan di samping meletakkan asas agama dan akhlak sebagai teras dalam apa jua percaturan.

Apa yang penting sistem demokrasi pilihan raya ciptaan manusia harus diterima sekadarnya dan seadanya. Pilihan raya juga harus digunakan hanya sebagai suatu proses untuk rakyat memilih pemimpin yang benar-benar berkemampuan menggalas tanggungjawab dan amanah demi kepentingan masyarakat dan membina tamadun umat gemilang.

Pemilihan pemimpin mestilah dinilai dari pelbagai aspek bukan sekadar kehebatan berpidato dengan alunan ayat-ayat suci Allah. Bukan sekadar kelantangan memaki hamun dan mengadu domba. Amat malang jika pemimpin yang dipilih hanya kerana wang ringgit yang ditaburnya.

Di sinilah perlunya kebijaksanaan dan kematangan dalam berpolitik. Politik yang matang sentiasa disemangati dengan idealisme luhur bersandarkan lunas-lunas dan prinsip-prinsip Islam sejati. Budaya politik yang beradab juga mencerminkan masyarakat bermaruah yang menolak kefanatikan, mengutamakan perpaduan dan mengetepikan perbezaan ideologi, perkauman dan kerakusan terhadap kuasa demi kepentingan bangsa dan negara yang lebih murni.

Tuesday, April 17, 2007

Gambar-gambar Kem Smart Solat SMKT

Assalamualaikum WBT. Alhamdulillah. Kem Smart Solat dan Pemantapan Aqidah di Sekolah Menengah Kebangsaan tampin, telah berjaya diadakan.

Jumlah peserta menjangkau sehingga hampir ke 70 orang.

Di sini saya sertakan gambar-gambar ketika kem tersebut

untuk melihat lebih banyak gambar, sila ke album ini
Album Kem Solat SMKT

Sunday, April 15, 2007

Aqal Sihat Aqidah Tepat

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya dan kami memohon pertolongan-Nya dan kami memohon keampunan-Nya, dan kami berlindung kepada Allah dari keburukan diri kami dan dari keburukan perbuatan kami. Sesiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tiadalah kesesatan baginya dan sesiapa yang disesatkan oleh Allah maka tiadalah petunjuk baginya. Kami bersaksi bahawa tiada tuhan kecuali Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya dan kami bersaksi bahawa Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya.

Kehidupan ini, sama ada disedari atau tidak, adalah merupakan ujian daripada Allah Subhanahu wa Ta‘ala demi menentukan siapakah yang terbaik amalannya. Ujian tersebut wujud dalam pelbagai bentuk, sebahagiannya kita kenali dan sebahagian lain tidak kita kenali.

Sesungguhnya saya bersyukur ke hadrat Allah Subhanahu wa Ta'ala kerana diberi peluang untuk menggunakan kapasiti aqal yang dianugerahkan ini untuk mempelajari,mengkaji dan memahami ilmu aqidah yang benar iaitu aqidah sebenar Ahlul Sunnah Wal Jamaah.Mengapa saya katakan aqidah sebenar?Adakah bermaksud ada aqidah Ahlul Sunnah Wal Jamaah yang tidak benar?Ini adalah kerana terlalu ramai golongan yang mengaku mereka beraqidahkan aqidah Ahlul Sunnah Wal Jamaah sedangkan hakikatnya aqidah mereka mirip aqidah Mu’tazilah atau Jahmiyyah dan sebagainya.

Dalam tempoh pembelajaran ini tidak dinafikan saya berhadapan dengan beberapa ujian dalam pelbagai bentuk,bukan dalam subjek aqidah itu yang sememangnya senang untuk difahami kerana secara logiknya jika aqidah ini sukar difahami seperti subjek fizik ataupun ekonomi maka sudah tentu sukar untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajar arab Jahiliyyah pada waktu itu tentang tauhid,tetapi lihat sahaja bagaiman para sahabat dan mereka yang memeluk Islam pada waktu itu beriman dan mempunyai aqidah yang mantap dan kukuh.Tetapi lama kelamaan selepas kewafatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam muncul golongan-golongan yang mengubah kesucian aqidah sebenar ini mengikut hawa nafsu mereka.Maka muncullah golongan-golongan seperti al-Khawarij, Syiah, Muktazilah dan Murjiah.Penyelewengan dalm aqidah ini atau dalam erti kata lain bid’ah dalm aqidah ini tersebar aktif contohnya fahaman Muktazilah kerana terjemahan kitab-kitab Falsafah Greek (Aristotatle, Socratus, Demoratus dll) ke dalam bahasa Arab di zaman al-Makmun (w 218 H) menyebabkan Manhaj Akal lebih tinggi dari Manhaj Wahyu. Dari sini timbul pula Ilmu Mantiq (Logik).

Tokoh-tokoh Muktazilah seperti . Al-Huzail Al-Alaf,An-Nizham, Ahmad bin Khabit dan Al-Fadhl Al-Hadathi yang mempromosi aqidah yang menghadkan kekuasaan Allah,mengingkari mukjizat-mukjizat kenabian,dan kepercayaan akan penjelmaan semula roh-roh atau makhluk lain selepas mati atau boleh juga digelar At-Tanasukh (reincarnation) yakni konsep yang mungkin juga boleh disebut sebagai Hulul al-Arwah atau Tahlil al-Arwah menurut Al-Hudaiby.Selepas itu perkembangan fahaman al-Muktazilah ini sentiasa berkembang dengan virus-virus baru sehingga ke hari ini. Virusnya yang berteraskan logik akal atau ilmu mantiq begitu hebat sehingga melewati batas-batas pendidikan dan pemikiran malah menggangu terus khazanah intelek sehingga amat sukar sekali untuk dirawati.

.Tidak cukup dengan mencanang kesesatan maupun kekufuran ulama’ terdahulu tanpa usul periksa malah mereka yang terpengaruh dengan fahaman ini begitu taksub dengan pemahaman mereka menyebabkan wujud jurang perbezaan dalam membentuk akhlaq maupun sakhsiah diri seperti yang dianjurkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berhubung sesama manusia.

Disebabkan itulah dalam era globalisasi ini turut menyaksikan berbagai warna bid’ah tercalit ke atas muslimin disebabkan kemunduran mereka dalam aspek keagamaan, sehingga menyerah bulat-bulat urusan kewajipan agama kepada orang lain, juga pengaruh pemikiran barat spt sekularisme, nasionalisme, pragmatisme, liberalisme dll.

Golongan ini ‘terlalu terkedepan’ dalam menggunakan aqal mereka sehingga sanggup menyatakan sifat apa yang wajib,sifat apa yang harus dan sifat apa pula yang mustahil dalam memahami perkara-perkara berkenaan Allah Subhanahu wa Ta'ala.Inilah hasilnya apabila terpengaruh dengan philosophical theology (filsafat ketuhanan),atau dalam erti kata lain ilmu kalam.

Berkata Assyihristani: “Setelah ulama’-ulama’ Muktazilah mempelajari kitab-kitab filsafat yang diterjemahkan pada masa Al-Ma’mun,mereka mempertemukan cara (sistem) filsafat dengan sistem ilmu kalam dan dijadikan ilmu yang berdiri sendiri dan dinamakannya ilmu kalam,sejak itu dipakailah al-kalam untuk ilmu yang berdiri sendiri”
(Theology Islam (ilmu kalam),oleh Ahmad Hanafi M.A, m.s 11)

Maka apa yang dapat kita lihat di sini ialah antara punca perbezaan dalam memahami ilmu aqidah ialah golongan-golongan yang bathil ini selalu mendahului aqal daripada naqal (wahyu) dalam memahami ilmu aqidah.Disebabkan perbezaan inilah apabila dibandingkan antara ciri-ciri aqidah Islam yang hak yang berteraskan al-Quran dan al-Sunnah dengan ciri-ciri aqidah Islam yang telah diselewengkan dan dicampur adukkan dengan kebathilan, kita akan dengan mudah mendapati bahawa aqidah yang hak lagi suci adalah mudah untuk difahami dan ia menjawab segala persoalan fitrah dalam jiwa manusia, justeru menanam rasa keyakinan dan ketenangan dalam jiwa mereka. Di samping itu, dalil-dalil aqidah yang hak tidakbercanggahan antara satu sama lain.

Sebaliknya, ciri-ciri aqidah yang telah diselewengkan dan dicampur adukkan dengan kebathilan adalah berlawanan sama sekali dengan ciri-ciri aqidah yang hak seperti yang disebut di atas. Banyak contoh aqidah yang terseleweng ini terdapat dalam pegangan masyarakat kita, khususnya yang berkaitan “Ilmu Makrifat”.Selain itu tidak dinafikan ada sahaja teori yang dihasilkan seperti “Allah wujud tidak bertempat”, “Allah berada di mana-mana”, dan sebagainya demi menolak firman Allah sebagai contoh sifat Allah yang menyifatkan dirinya beristiwa’ di atas ‘Arasy.

Berkata Imam As-Syafie:-

“Allah Tabaraka wa Taa'la memiliki nama-nama dan Sifat-sifat yang diterangkan dalam kitabNya dan diberitakan oleh NabiNya shalallahu a'laihi wasallam kepada umatnya maka tidak ada alasan bagi siapa pun yang telah sampai di hadapanNya hujah(dalil) untuk menolaknya.”
(Imam Az-Zahabi dalam kitabnya Siyar A'lam Al-Nubala jld 10,m.s 79-80)

Malah Imam As-Shafie sendiri beriman dengan kepercayaan bahawa Allah Subhanahu wa Ta'ala mempunyai sifat-sifat seperti yang difirmankanya di dalm Al-Quran dan yakin dengan apa yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sampaikan.

“Pegangan dalam atas sunnah Rasulullah SAW yang aku beradai di atasnya dan aku lihat sahabat-sahabat kita berada di atasnya, mereka itu Ahlul Hadis yang aku telah lihat mereka dan aku telah ambil daripada mereka seperti Sufyan, Malik dan selain mereka ialah ikrar bahawa tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, Muhammad itu Rasulullah. sesungguhnya Allah di atas Arsynya dilangitnya. Dia menghampiri sesiapa yang dikalangan makhluk-makhlukNya sebagaimana yang Dia kehendaki, Dan Allah SWT turun ke langit dunia sebagaimana yang dia kehendaki.”
(Al-Wasiyyah m.s 53-58)

Oleh itu,kita yang berada di Malaysia khususnya bangga bermazhab Syafie kenapa perlu terpengaruh dengan teori “Allah Wujud Tidak Bertempat” ataupun “Allah Wujud Di Mana-Mana”?Apakah mereka yang mencanang-canang slogan berpegang kepada mazhab Syafie dalam fiqh tetapi mengambil Aqidah Asya’irah dalam aqidah membawa maksud aqidah Imam As-Shafie tidak betul?Mengapa tidak mengambil kedua-duanya yakni baik dalam fiqh apetah lagi aqidah Imam Syafie seperti yang dinyatakan di atas?

Ulama Kalam/Asya’irah seperti yang saya katakan di atas telah membahagikan hukum kepada tiga jenis : (1) Hukum Syar’i ; iaitu hukum yang ditetapkan oleh Allah yang terbahagi kepada (i) Wajib (ii) Haram (iii) Sunat (iv)Makruh dan (v) Mubah/Harus. (2) Hukum ‘Aqli ; iaitu hukum yang ditetapkan oleh aqal manusia yang terbahagi kepada (i)Apa yang wajib pada aqal (ii) Apa yang mustahil pada aqal dan (iii) apa yang jaiz/mungkin pada aqal. (3) Hukum Adat. Jika dihalusi kitab-kitab aqidah mereka, kita akan dapati bahawa golongan ini kembali kepada hukum dan penetapan Allah (Hukum Syar’i) dalam ibadah/syari’ah, tetapi dalam aqidah/tauhid/ilmu makrifat yang merangkumi ilmu ghaib, mereka kembali kepada hukum/penetapan aqal manusia (Hukum ‘Aqli).


Golongan ini mewajibkan didahului aqal dan bagi naqal (wahyu) pula sama ada mereka tafwidh (menyerahkan sahaja makna wahyu tersebut bulat-bulat kepada Allah) atau takwil (mengubah suai makna wahyu yang zahir itu kepada makna lain).
(Asasuttaqdis, hal. 172-173)

Kaedah yang dinamakan AlKanun Al-Kulli ini menyebabkan fungsi aqal terpesong dari kedudukan sebenarnya kerana manhaj sebenar Ahlul Sunnah Wal Jamaah yakni akal tidak mampu menjangkau perkara-perkara ghaib di balik alam nyata yang kita saksikan ini, seperti pengetahuan tentang dan sifat-sifat-Nya, arwah, surga dan neraka yang semua itu hanya dapat diketahui melalui wahyu.Ini dapat dilihat melalui sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam:-

تَفَكَّرُوْا فِيْ أَلاَءِ اللهِ وَلاَ تَفَكَّرُوْا فِيْ اللهِ عَزَّ وَجَل

“Berpikirlah pada makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir pada Dzat Allah.”

(HR. Ath-Thabrani, Al-Lalikai dan Al-Baihaqi dari Ibnu ‘Umar, lihat Ash-Shahihah no. 1788 dan Asy-Syaikh Al-Albani menghasankannya)

Oleh karena itu, aqal diperintahkan untuk pasrah dan mengamalkan perintah syariat meskipun ia tidak mengetahui hikmah di sebalik perintah itu. Karana, tidak semua hikmah dan sebab di sebalik hukum syariat perlu diketahui manusia.Justeru,terlalu banyak hal yang tidak manusia ketahui sehingga aqal wajib tunduk kepada syariat.

Diumpamakan oleh para ulama bahwa kedudukan antara akal dengan syariat bagaikan kedudukan seorang awam dengan seorang mujtahid. Ketika ada seseorang yang ingin meminta fatwa dan tidak tahu mujtahid yang berfatwa (tidak tahu harus ke mana minta fatwa), maka orang awam itu pun menunjukkannya kepada mujtahid. Setelah mendapat fatwa, terjadi perbezaan pendapat antara mujtahid yang berfatwa dengan orang awam yang tadi menunjuki orang tersebut. Tentunya bagi yang meminta fatwa harus mengambil pendapat sang mujtahid yang berfatwa dan tidak mengambil pendapat orang awam tersebut karena orang awam itu telah mengakui keilmuan sang mujtahid dan bahwa dia (mujtahid) lebih tahu (lebih berilmu). (Lihat Syarh Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201)

Penjelasan ini dapat kita fahami melalui firman Allah sendiri di dalam Al-Quran:-

وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوْتِيْتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيْلاً

Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’.” (Al-Isra: 85)

Rata-rata, di Malaysia umumnya kebanyakkan sekolah agama menggalakkan para pelajarnya menasyidkan “Asma Husna” (yang mengandungi 99 nama Allah) sekurang-kurangnya di perhimpunan sekolah. Ada juga kebanyakkan sekolah agama yang mengajarkan “Sifat 20” sebagai teras makrifat Allah dalam ilmu tauhid.Sampai begitu sekali dapat kita lihat kepincangan konsep ilmu makrifat ini apabila unsur-unsur ilmu kalam telah lama bertapak di nusantara.Oleh itu tidak menghairankan apabila Prof Muhammad Taib Osman berkata “......kehebatan pengajaran agama Islam tidak dapat menghapuskan saki-baki kepercayaan tradisional dan juga pengaruh Hindu dengan sepenuhnya” (Pemikiran Umat Islam di Nusantara – sejarah dan perkembangannya hingga abad ke-19 ” oleh Abdul Rahman Hj. Abdullah)

Maka sesungguhnya jelas golongan yang tunduk pada aqal seperti golongan Asya’irah seumpamanya dalam memperjuangkan konsep wujud Allah mereka menetapkan Allah itu “AlHuduth”(Baharu) dan “AlQadim”(Lama).Ini kerana mereka menggunakan aqal menganggap alam ini baru maka sudah tentu ada pencipta yang lama.Inilah pendalilan mantik atau logik berasakan hujah falsafah Greek/Yunani.dalam konteks memahami Al-Quran golongan ini membeza-bezakan antara makna dan lafaz,mereka menetapkan kalam Allah hanya dengan sudut makna bukannya lafaz tanpa suara dan huruf.Kalam Allah pada mereka hanya majaz (kiasan) kerana ianya diibaratkan daripadanya sahaja bukan kalam Allah yang sebenarnya.
(Manhaj Ahli Assunnah Wal Jamaah, oleh Ismail Omar)



Inilah antara perbezaan antara golongan Asya’irah yang banyak tunduk pada aqal dengan golongan Ahlul Sunnah yang menggunakan Al-Quran,As-Sunnah,Ijma’,Aqal dan fitrah sebagai sumber untuk Ahlul Sunnah untuk berhujah berkenaan masalah aqidah.Sesungguhnya aqal yang sahih tidak mungkin bertentangan dengan nas-nas (naqal) yang sahih terutama dalm beriman kepada perkara-perkara ghaib terutamanya berkenaan sifat-sifat Allah.Apabila aqal didahului mengatasi naqal maka wujud konflik jiwa dalam beriman tentang sifat-sifat Allah seperti mana yang telah Allah firman dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam khabarkan.

Disebabkan titik perbezaan inilah golongan Asya’irah yang mengaggap bahawa dengan berimannya kita khususnya terhadap sifat-sifat Allah seperti istiwa’,wajah,tangan,betis dan sebagainya seperti yang difirmankan Allah dan Rasul-Nya boleh jatuh kufur sedangkan inilah aqidah yang dipegang erat oleh para salfussoleh dan ulama’-ulama’ maupun kesmua imam 4 mazhab.Aqal mereka yang telah disuntik penyakit tajsim beranggapan bahawa keimanan seperti ini adalah keimanan yang bathil kerana beriman bahawa Allah beristiwa’ di atas A’rasy seperti yang tertera di dalam Al-Quran umpama kita membayangkan Allah mempunyai persamaan dengan manusia.Sedangkan telah jelas bahawa keimanan Ahlul Sunnah Wal Jamaah khususnya dalam memahami sifat-sifat Allah ialah kita beriman seperti mana yang Allah nyatakan tetapi kaifiat atau tatacaranya kita serahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala.Maka tidak timbul isu tajsim (menjisimkan Allah) atau isu menyamakan Allah dengan makhluk kecuali bagi mereka yang mempunyai masalah imaginasi melampau sehingga ingin menggunakan aqal yang terbatas ini untuk mengambarkan sesuatu yang sememangnya diluar jangkauan.

Al-Imam Az-Zuhri mengatakan: “Risalah datang dari Allah, kewajiban Rasul menyampaikan dan kewajiban kita menerima.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201)

Inilah bahana apabila kita mengunakan aqal dengan cara yang tercela seperti yang dikatakan oleh Imam Ibn Qayyim Al-Jauziyyah yang menyebutkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:

1. Pendapat akal yang menyelisihi nash Al Qur’an atau As Sunnah.

2. Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang dibayangi dengan sikap menyimpulkan dalam mempelajari nash-nash, memahaminya serta mengambil hukum darinya.

3. Pendapat akal yang berakibat menolak asma (nama-nama) Allah sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas (analogi) yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat.

4. Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya As Sunnah.

5. Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik (dari dirinya) dan prasangka.
(Lihat I’lam Muwaqqi’in, 1/104-106, Al-Intishar, hal. 21, 24, Al-’Aql wa Manzilatuhu)

Untuk mengetahui bathilnya pendapat mereka dengan singkat dan mudah cukup dengan kita merujuk kepada lima hal yang disebutkan Ibnul Qayyim di atas.Jika kita berhadapan dengan situasi yakni bertembungnya dalil dan aqal kita maka janganlah aqal kita meragui dalil tersebut tetapi raguilah aqal yang kurang sihat itu. Hal ini berangkat dari ajaran Al Qur’an
dan As Sunnah yang mengharuskan kita untuk selalu kembali kepada dalil. Demikian pula anjuran para dan mengalami kejadian sahabat yang berpengalaman dengan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam turunnya wahyu. Seperti dikatakan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab:

Wahai manusia, curigailah akal kalian terhadap agama ini.”

(Riwayat Ath-Thabrani, lihat Marwiyyat Ghazwah Al-Hudaibiyyah, hal. 177, 301)

Oleh karenanya, Ibnul Qayyim mengatakan: “Jika dalil naqli bertentangan dengan akal, maka yang diambil adalah dalil naqli yang shahih dan akal itu dibuang dan ditaruh di bawah kaki, tempatkan di mana Allah meletakkannya dan menempatkan para pemiliknya.”

(Mukhtashar As-Shawa’iq, hal. 82-83 dinukil dari Mauqif Al-Madrasah Al-‘Aqliyyah, 1/61-63)

Mereka yang terjebak dengan konsep pemahaman ini sememangnya tidak akan akur dan tuduk pada dalil-dalil yang diutarakan kerana telah diselimuti dengam pegangan ilmu kalam tersebut.Tetapi mereka ini dengan bangganya mengaku bermazhab Imam As-Syafie tanpa menyedari bahawa Imam Syafie begitu jelek dengan mereka yang terlibat dengan ilmu kalam ini.Diriwayatkan bahawa Imam As-Syafie pernah berkata:-

“Hukum aku kepada mereka yang terlibat dengan ilmu kalam ialah disebatnya mereka itu dengan kayu dan dibaling dengan kasut lalu di bawa berarak ke sekeliling jalan-jalan sambil dilaungkan kepada orang ramai bahawa inilah hukuman bagi mereka yang meninggalkan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya.”

(Riwayat Baihaqi dalam Manaqib Syafie m/s 462 Jilid 1).


Jelas disini bahawa golongan Asyai’rah atau ahlul kalam semangnya perlu menilai dan bertaubat atas konsep yang mereka perjuangkan kerana ia bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah yang sahih.Memang tepatlah kata-kata Al-Imam Adz-Dzahabi tentang orang-orang yang tetap mengedepankan akalnya:

“Jika kamu melihat ahlul kalam ahli bid’ah mengatakan: ‘Tinggalkan kami dari Al Qur’an dan hadits ahad dan tampilkan akal,’ maka ketahuilah bahwa ia adalah Abu Jahal.”
(Siyar A’lamin Nubala, 4/472)

Maka artikel ini juga perlu dinilai semula berdasarkan hujah-hujah yang dibawa bukannya dengan mendahului aqal dan emosi semata kerana sesungguhnya tidak berdiri Islam itu di atas aqal dan emosi tetapi berdasarkan naqal yang sahih lagi tepat.


Wallahua’lam.


Ibn Yusof
9 March 2007 / 22 Rabiulawwal 1428
6:03 a.m
ibnyusof.blogspot.com